Gambar dari Google |
Sehelai tisu berwarna putih polos jatuh tepat di hadapanku. Di
saat yang sama pula seorang perempuan tua muncul di hadapanku. Ia duduk di
kursi rodanya yang nampak sudah lama ia gunakan.
Perempuan tua itu memintaku untuk mengambil tisu yang jatuh
di hadapanku itu. Kemudian disuruhnya pula aku membuang tisu itu ke dalam tong
sampah yang tak jauh dari tempat kami berdua berada.
Dia meminta maaf telah merepotkanku katanya. Tak sengaja ia
membuang selembar tisu polos itu ketika angin bertiup kencang membawa paksa
tisu polos itu terbang dan jatuh di hadapanku.
Kala itu sore menjelang senja di sebuah taman umum. Taman yang
dipergunakan sebagai lahan penghijauan kota. Taman yang seringkali menjadi
tempat kumenghabiskan senja. Tempat yang menjadi favoritku berlama-lama. Tempat
yang penuh kenangan manis dan pahitku bersama orang yang kukasihi.
Dulu, awalnya, aku suka berada di taman itu karena ia yang
kukasihi. Seorang lelaki tampan (bagiku), baik hati tapi agak pemalu.
Ya, sejak bersama kekasihku, aku jadi mengenal taman ini. Dan
kini meski kekasihku telah kembali pada Kekasih di atas Kekasih, aku tetap
setia mengunjungi taman ini. Aku datang dan menikmati waktuku di taman itu
sendiri.
Dan, kini seorang perempuan tua berkursi roda menghampiriku.
Dan kami mulai berbincang-bincang.
Dalam hatiku ada rasa penasaran kenapa ia repot-repot mengikuti
tisu yang telah terbawa angin dan kini memintaku untuk membuangnya ke tong
sampah.
Sepertinya ia bisa menebak apa yang ada dalam pikiranku.
Ia berkata bahwa meskipun hanya sehelai tisu yang mungkin
ukurannya tak seberapa, tapi bila mana sudah tak ingin digunakan berarti tisu
itu menjadi sampah dan sampah pastilah tempat yang cocok adalah di dalam tong
sampah yang kemudian akan dibuang di tempat penampungan sampah pusat.
Jadi, tak boleh seenaknya saja membuang sampah sembarangan. Sekecil
apa pun sampah mestilah dibuang pada tempatnya.
Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya di masyarakat kita
memang masih kurang. Kesadaran masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Padahal
setau kami seringkali didengung-dengungkan kampanye membuang sampah pada
tempatnya, lalu ada juga kampanye atau penyuluhan mengenai hal untuk mengurangi
penggunaan kantong plastik guna mengurangi efek global warming, pemanasan
global.
Ia pun mengedarkan pandangannya ke taman di mana kami berdua
berada. Hmmm… masih ada saja sampah yang berserakan, padahal sudah tersedia
tempat sampah yang mudah dijangkau. Ada dua macam tempat sampah, yang satu
sebagai tempat sampah basah (seperti sampah daun-daunan, ataupun makanan) dan
yang satunya lagi untuk tempat sampah kering (seperti sampah kertas, botol
minuman, bungkus permen, dll).
Seakan aku mengerti apa yang dikehendakinya dengan pandangan
matanya seperti itu, aku pun segera pamit untuk bangkit dari tempatku dan mulai
memunguti satu persatu sampah yang berserakan di taman itu.
Angin semilir menghembus perlahan.
Taman itu tak terlalu luas, dan sampahnya pun tak terlalu
banyak yang berserakan oleh karenanya tak lama aku menyelesaikan memungut semua
sampah dan memasukkannya ke tong sampah yang ada.
Kukibas-kibaskan kedua tanganku. Kubersihkan kedua tanganku
yang agak kotor dengan tisu basah yang ada dalam tas kecilku yang sedari tadi
menggelayut santai di punggungku.
Sejenak kulemparkan pandangan mata ke seluruh pelosok taman
ini, hmm…. Sudah bersih dan sampah-sampah pun sudah masuk ke tempat mereka
alias tempat sampah.
Aku pun bergegas untuk kembali menikmati waktu senja yang
tersisa dengan duduk santai di tempatku semula. Aku baru teringat pada
perempuan tua yang tadi ada bersamaku.
Kulihat ke sana kemari di taman itu tak ada perempuan tua
yang tadi ada di depanku. Mungkin ia sudah kembali ke rumahnya, pikirku
dalam hati.
Aku pun tak terlalu mengkhawatirkannya. Ia pasti tinggal tak
jauh dari taman ini. Dan aku yakin esok atau esoknya lagi aku akan bertemu
dengannya lagi.
Tapi, setelah sekian lama, aku tak pernah bertemu dengannya
lagi. Aku selalu berharap aku bisa bertemu dengannya dan bercakap-cakap lagi
seperti waktu itu. Namun, itu tak pernah terjadi.
Sejak pertemuanku dengan perempuan tua itu, aku bertekad
untuk membantu menjaga kebersihan taman itu. Setiap hari minggu kuhabiskan
waktu untuk membersihkan taman dari sampah-sampah yang berserakan. Tak kusangka,
para tetangga pun lama kelamaan ikut bergabung dalam kegiatan itu.
Kini, hari minggu menjadi hari untuk bersama-sama
membersihkan taman dan bahkan membuatnya makin cantik dengan menanam aneka
bunga-bunga guna mengganti tanaman bunga yang telah lama mati.
Oya, pernah kuceritakan pertemuanku dengan seorang perempuan
tua kepada ibuku dan sontak ibuku kaget mengenai hal itu. Aku bingung dengan
keterkejutan ibuku itu. Akhirnya ia berkata bahwa perempuan tua itu adalah si
pemilik tanah taman itu. Tanah miliknya itu memang dihibahkan guna pengadaan
taman penghijauan di kota kami. Ia suka sekali dengan tanaman dan mengabdikan
hidupnya pada lingkungan yang ia cintai.
Ibuku bilang ia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dan taman kota kami itu jadi terbengkalai. Tiada yang mengurusnya.
Tak terasa bulu kudukku merinding……