Gambar dari http://photoku-photokita.blogspot.com/ |
Saat menuliskan kalimat-kalimat ini, aku sedang terharu.
Air mataku menjalari kedua pipiku yang agak chubby. Sudah kuusahakan agar tak
ada air yang merembes dari mataku tapi aku tetap saja gagal seperti waktu-waktu
lainnya. Teringat akan kejadian pagi tadi.
***
Satu minggu yang lalu
“Saya minta maaf bu, saat ini aku benar-benar tidak punya
uang. Belum ada income yang seharusnya memang sudah masuk pertengahan bulan
ini. Orangtua muridku meminta tenggat waktu sampai akhir bulan ini untuk
membayar uang les anak-anak mereka.” Ucapku dengan penuh rasa tak enak.
Akhirnya dengan berat hati kuungkapkan juga kondisi
keuanganku pada ibu. Memang sudah kewajibanku untuk membayar tagihan listrik
tiap bulan dan biasanya kulunasi sebelum tanggal 10. Tapi apa daya, saat inu
aku benar-benar tidak bisa memenuhi kewajiban itu.i
“Sudahlah, jangan kau pikirkan nak,” jawab ibu dengan
nada penuh rasa simpati.
“Biar saja, untuk bulan ini tak usah kau bayarkan. Ibu
masih ada uang arisan yang ibu dapat minggu lalu. Ibu kira cukup untuk melunasi
tagihan listrik bulan ini. Coba kau cek dulu berapa tagihannya.” Lanjutnya.
“Terima kasih bu, nanti kalau aku sudah ada uang akan aku
kembalikan uang ibu. Akhir bulan ini ya bu.” Sambutku dengan penuh rasa terima
kasih.
Ayah memang sudah tiga tahun ini tiada, jadi kami berbagi
kewajiban mengenai tagihan-tagihan yang mesti dibayar. Aku menyangggupi untuk
membayar tagihan listrik per bulan, sedangkan kakakku melunasi tagihan telepon
dan air dan uang sekolah adik kami yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas.
Ibu lah yang memenuhi keperluan makan sehari-hari dengan usaha jahitannya.
“Oya, bu untuk bulan ini jumlahnya seratus tujuh puluh
delapan rupiah. Ada sedikit kenaikan dari bulan lalu karena katanya ada kenaikan
tarif.” Jelasku pada ibu.
“Besok tolong kau bayarkan di tempat biasa ya. ini
uangnya.” Ibu berkata sambil menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan.
**
Pagi ini adalah kali kedua aku mengajar dengan berjalan
kaki. Biasanya aku senantiasa menggunakan sepeda motor yang dibelikan oleh ayah
beberapa tahun yang lalu. Katanya supaya aku bisa lebih hemat waktu bepergian
mengajar.
Tapi, karena aku tak punya uang untuk membeli bensin maka
motor itu pun aku biarkan istirahat di rumah, sementara aku berjalan kaki.
Memang agak jauh jarak harus kutempuh dan juga tak ada angkot yang melintas di
perumahan tempat ku mengajar, jadi tak ada cara lain selain memacu kedua
kakiku.
“Aku pamit dulu ya bu.” kataku pada ibu seraya
mengulurkan tanganku guna mencium tangannya seperti yang semua anaknya lakukan
saat hendak pamit.
“Tunggu dulu, nak.” Sahut ibu sambil berjalan menuju
kamar tidurnya.
“Kau tak usah jalan kaki, pakailah sepeda motormu. Ini
untuk membeli bensin, ibu kira cukup sampai akhir bulan.” Lanjutnya sambil
menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan padaku.
“Tak usahlah bu, aku masih punya tapi aku memang sedang
ingin berjalan kaki. Hitung-hitung olahraga.” Dengan halus kutolak tawarannya
itu.
“Jangan keras kepala seperti itu, ibu tahu kamu tidak
punya uang untuk membeli bensin. Terimalah uang ini. Ibu masih ada sedikit
simpanan. Kemarin langganan ibu ada yang membayar jahitannya.” Desak ibu. Ia
memang tahu benar watak anaknya yang satu ini, tak mau menerima bantuan bila
tak kepepet.
“Ibu tahu saja, aku jadi malu,” aku tersenyum menerima
selembar uang lima puluh ribuan itu.
“Terima kasih bu, aku pamit dulu ya. semoga hari ini ada
anak didikku yang membayar uang bulanannya.” Aku mencium punggung tangannya dan
berlalu menuju sepeda motorku yang ku parkir di samping rumah.
“Hati-hati di jalan, jangan lupa untuk membeli bensin
agar motormu itu ga mogok,” balas ibu mengantarku keluar rumah.
“Iya bu, aku berangkat ya.” Aku mengiyakan perkataanya
dan akhirnya kugas pelan-pelan sepeda motorku meninggalkan ibu dan rumah di
belakang.
Kedua mataku dipenuhi air yang akhirnya bergulir di atas
kedua pipiku. Segera kuhapus dengan tangan kananku dan kucoba untuk mengatur
irama nafasku.
“Terima kasih ibu,” Penuh hormat kuucapkan kalimat itu
dalam hati.