Rabu, 23 Oktober 2013

Kejujuran Wira

gambar dari  http://meditateinkansas.org/
“Sudahlah wira, cepat kau mandi. Nanti terlambat ke sekolah!” suara ibu terdengar dari arah dapur.
Pagi itu ibu sedang menyiapkan sarapan pagi. Rutinitas yang biasa ia lakukan sebelum ia pun berangkat mengajar.

“Baik ibu, sebentar lagi. Aku mau menyikat lantai kamar mandi dulu.”
“Aku pasti tak akan telat bu.” Wira menjawab dengan semangat.

Tak sampai setengah jam, Wira sudah siap berangkat ke sekolah dengan sepedanya. Maklum jarak sekolah dari rumahnya tidaklah jauh dan lebih nyaman baginya bersepeda daripada di antar sang ayah.

ia suka bersepeda ke sekolah bersama teman-temannya. Ayah mengantar ibu ke Sekolah Menengah Pertama, tempat ia mengajar sebelum akhirnya ia pergi ke kantor yang cukup jauh dari sekolah itu. 

**

“Maaf, bu, aku tidak bisa menyikat lantai kamar mandi hari ini karena mau berangkat agak awal.” Wira memohon ijin kepada ibunya di suatu pagi.

“ga pa-pa, Wira. Nanti ibu yang akan menggantikan tugasmu itu. Tapi hanya untuk hari ini. Janji ya?”  ibu memberi ijin dengan satu syarat saja.

“Ibu baik deh.” Ujar Wira sambil menyeringai.

“Kamu kecil-kecil kok udah bisa merajuk. Ya, ayo mandi sana jangan sampai teman-temanmu meninggalkanmu.” Ibu berkata dengan sedikit senyum di bibirnya.

**

Malam harinya, Wira mendekati sang ibu yang sedang asyik mengoreksi hasil ulangan anak muridnya di depan televisi. Televisi sengaja tak dinyalakan demi membantu konsentrasi ibu mengerjakan tugasnya itu.

“Bu, aku mau minta maaf mengenai suatu hal pada ibu,” Wira membuka pembicaraan.

Mendengar suara anaknya yang ia kasihi, ibu memutar kepalanya ke arah Wira.

“Ada apa Wira. Kok serius seperti itu?” ibu meletakkan kertas ulangan yang sedang dipegangnya lalu memperhatikan raut wajah Wira.

Agak lama Wira menundukkan wajahnya dan mencoba memberanikan diri untuk mengeluarkan kalimat-kalimat yang sudah ia susun di dalam batok kepalanya.

Jam dinding menunjukkan waktu pukul delapan lebih lima menit. Dua ekor cicak berkejaran di dekatnya. Sesekali cicak itu bersuara seperti tikus mencicit.

“Mmm… iya bu, aku minta maaf ke ibu karena selama ini aku tidak menjalankan tugas yang ibu berikan. Tugas menyikat lantai kamar mandi setiap pagi.” Ia tak kuasa menatap wajah sang ibu.

“Aku beberapa kali berbohong telah melakukan tugas itu. Aku menyesal sekali bu. Aku minta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku akan melakukan tugas itu dengan sungguh-sungguh bu.” Panjang Wira mengatakannya pada sang ibu yang duduk di hadapannya.

Sang ibu hanya menghela nafas. Lantas ia berkata; “Wira, ibu maafkan kesalahanmu dan ibu bangga pada kejujuranmu. Ibu dan ayahmu memberikan tugas itu kepadamu dengan tujuan supaya kamu belajar bertanggung jawab pada rumah ini. Rumah ini biarpun kecil tapi harus kita rawat bersama sehingga nyaman kita tinggali.

Kamu pasti ingat bahwa kebersihan itu amat penting. Apalagi kebersihan di kamar mandi. Kita harus merawat kebersihannya demi kebaikan kita, para penghuninya.

Wira mulai memberanikan dirinya untuk menatap sang ibu. Dalam hati ia sungguh senang memiliki kedua orang tua yang bijak dalam mendidik. Lamat-lamat ia mengucapkan terima kasih pada-Nya.

Lalu ia bercerita.

“Pagi ini Bagas, teman sekelasku tidak masuk sekolah karena neneknya meninggal. Lalu siang hari aku bersama teman-teman dan wali kelasku berkunjung ke rumahnya.” Wira berhenti sejenak.

“Ibu Bagas menjelaskan bahwa neneknya Bagas meninggal tak lama setelah terjatuh di kamar mandi. Kata dokter yang memeriksanya di rumah sakit, neneknya itu mengalami pendarahan di otaknya dan  tak bisa diselamatkan.”

“Mulai sekarang aku berjanji akan selalu menyikat lantai kamar mandi kita, bu. Aku tak mau ibu atau ayah terjatuh seperti neneknya Bagas itu.” Dengan sungguh-sungguh diucapkannya janji itu kembali pada sang ibu.




                                    
Flag Counter