Kejanggalan-kejanggalan
Hari Sasangka yang Diambil Langsung dari Transkrip Persidangan.
Majalah TIRO
Edisi Spesial Oktober
2011
Aneh bin ajaib, salah satu saksi yang telah diperbolehkan
untuk mengikuti jalannya persidangan yang tertutup ialah Shinta Kencana Kheng
mengacungkan jari dan meminta ijin untuk mengungkapkan bahwa dirinya pernah
diganti namanya oleh terdakwa Anand Krishna dan diberikan baju oleh terdakwa
dan Shinta Kencana Kheng membawanya.
Atas hal tersebut, salah satu penasihat hukum terdakwa
interupsi kepada ketua majelis hakim dan menanyakan dalam kapasitas apa Shinta
Kencana Kheng berbicara di muka persidangan dan meminta agar dipahami bahwa
persidangan juga mempunyai tata aturan.
Ketua majelis hakim langsung menanggapi ucapan dari
penasihat hukum terdakwa tersebut dengan mengatakan bahwa kelemahan dalam KUHAP
adalah 1 (satu), KUHAP mengatur lengkap tentang pemeriksaan saksi secara
lengkap, tetapi tentang pemeriksaan terdakwa, KUHAP tidak mengatur.
Lebih parah lagi, ketua majelis hakim mengatakan bahwa sulit
untuk menjadi guru spiritual. Karena harus diperhitungkan hal-hal sekecil
apapun. Bahwa atas perkataan ketua majelis hakim tersebut. terdakwa mengatakan
bahwa dirinya tidak pernah menempatkan dirinya sebagai Guru dan bahkan
membantah untuk disebut Guru.
Ketua majelis hakim mengatakan bahwa terdakwa adalah orang
yang mempunyai kualitas internasional. Atas pernyataan ketua majelis hakim
tersebut, terdakwa “maaf, tapi tidak sebagai guru.” Penasihat hukum melalui
majelis hakim meminta JPU Martha Berliana Tobing, SH, menunjukkan kalung
berwarna coklat yang dijadikan barang bukti, kemudian terdakwa mengatakan bahwa “kalung itu tidak benar dan
tidak pernah muncul di Polisi.” Penasihat hukum menanyakan bagaimana kalung
tersebut bisa terdapat di persidangan namun penuntut umum tidak mau
menanggapinya, majelis hakim menyatakan kepada penasihat hukum bahwa nanti
dalam nota pembelaan dan meminta untuk mengesampingkan barang bukti yang
diajukan penuntut umum.
Secara tegas penasihat hukum menyampaikan bahwa dalam suatu
peradilan hal-hal seperti itu menjadi serius, karena hukum acara ini dibuat
untuk menegakan sehingga dapat mendapatkan kebenaran materil apabila hukum
acara tidak dilakukan sebagaimana mestinya maka tidak mungkin kita mencapai
kebenaran materil.
Menurut penasihat hukum perlu di-sampaikan dalam persidangan
ini sehingga ada dasar hukum nantinya dalam nota pembelaan. Permasalahan ini
merupakan masalah yang serius, bagaimana JPU dapat menghadirkan bukti yang
tidak ada kemudian majelis hakim menyatakan akan mempertimbangkan permasalahan
ini.
Di dalam penetapan yang dikeluarkan oleh Hari Sasangka,
disebutkan bahwa telah diperiksa keterangan 9 orang saksi, yaitu Tara Pradipta
Laksmi, Dra Wijarningsih, Farah Diba Agustin, Maya Safira Muchtar, Dr. E.
Kristi Poerwandari, M. Hum (psikolog), dan ahli Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo,
SH, MH.
Bahkan menurut penasihat hukum, hal itu tidak benar karena saksi
yang telah diperiksa sudah 25 orang dan bukan 9 orang. saksi-saksi tersebut
antara lain; Phung Soe Swe alias Chandra, Liny Tjeris, Muhammad Djumaat Abrory
Djabbar, Wandy Nikodemus, Lion Filman, Dewi Juniarti, Demetrius Baruno, Dian
Martin, Made Yuda, Rico Perlambang, Wowiek Prasantyo, Dewi Yogo Pratomo, Ratih
Puspita, Norma Harsono, Deby Sutopo, dan Ires Hasibuan. Dengan demikian hakim
telah tidak jujur karena telah menyembunyikan fakta yang sebenarnya, sehingga
melanggar kode etik hakim pasal 2.1 yang berbunyi sebagai berikut ,”hakim harus
berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat
menimbulkan kesan tercela”.
Hal itu melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim
sebagaimana tersebut dalam keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 selanjutnya disebut “kode etik”.
Pasal 1.1 umum bagian
C pengaturan keputusan kode etik menyatakan, “hakim wajib melaksanakan
tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharap
imbalan”. Dalam persidangan hakim juga sering memihak kepada Pelapor dan Jaksa
antara lain hakim mengijinkan Jaksa untuk mengajukan bukti-bukti yang tidak
termasuk dalam berkas perkara untuk ditanyakan kepada saksi-saksi. “Padahal kami
sudah berkali-kali keberatan, karena menurut kami kalau bukti yang diajukan
Jaksa tidak ada dalam berkas tidak boleh diajukan sebagai bukti untuk
ditanyakan kepada saksi-saksi karena kita tidak tahu keaslian, asal usul dari
bukti tersebut. Namun meskipun kami sudah keberatan, hakim tidak memperdulikan
keberatan kami tersebut,” ungkap kuasa hukum Anand Krishna, Humphrey R. Djemat
kepada TIRO.
Humphrey mencontohkan, pada persidangan tanggal 16 Februari
2011 saat pemeriksaan saksi Ir. Made Yudanegara, Rico Perlambang, dan Dian
Martin jaksa menyerahkan dua buah foto ke pada hakim ketua untuk diperlihatkan
kepada saksi dan oleh hakim ketua terima serta ditanyakan kepada saksi, padahal
foto tersebut tidak termasuk dalam salah satu barang bukti yang diajukan di
persidangan, sehingga tidak diketahui foto tersebut berasal dari mana. Pada saat
pemeriksaan saksi dalam persidangan ketua majelis hakim juga sering menggunakan
kalimat “sampeyan” kepada saksi-saksi.
Tidak hanya itu, pada saat saksi ahli dimintakan
kesaksiannya di persidangan dan telah dipanggil beberapa kali antara tanggal 9 Februari,
23 Februari, 2 Maret dan JPU beralasan tidak bisa menghadirkan saksi ahli,
hakim ketua mengatakan bahwa saksi ahli harus disiapkan “peluru” dan transport,
karena kalau tidak mana mau datang begitu saja menjadi saksi di pengadilan.
Anehnya, saksi-saksi yang memberatkan terdakwa padahal sudah
selesai diperiksa, diizinkan secara terus-menerus masuk ke dalam ruang sidang,
dan mengikuti jalannya persidangan yang tertutup untuk umum dengan alasan
adanya surat dari suatu institusi tertentu yang ditujukan kepada majelis hakim,
sehingga terkesan ketua majelis hakim telah ditekan oleh pihak tertentu dan
menjadi tidak independen.
Sesungguhnya sikap ketua majelis hakim tersebut telah
menciderai independensi pengadilan sebagai benteng terakhir penegakan hukum,
mencari/menemukan kebenaran materil menjadi sirna, dan terutama telah
bertentangan dengan pedoman perilaku hakim di dalam persidangan.
“Laporan yang dibuat adalah murni merupakan dugaan pelanggaran
kode etik karena hakim telah melakukan perbuatan tercela. Hakim tersebut telah
melakukan hubungan dengan saksi wanita yang mengaku sebagai korban dalam
perkara yang sedang diperiksanya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas
terdakwa Anand Krishna,” jelas Humphrey.
Humphrey melanjutkan, seorang hakim tidak diperbolehkan untuk
menjalin hubungan dengan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat,
penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim
yang bersangkutan. Hal tersebut melanggar ketentuan Angka 5.1.3 keputusan
bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial .R.U Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, yang menyatakan : “Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung
maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu
perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.”
“Menjalin hubungan dengan pihak dalam perkara saja sudah
tidak boleh, apalagi bertemu Shinta Kencana Kheng yang merupakan saksi korban,
di mobil pada malam hari di beberapa tempat yang berbeda,” tegas Humphrey.
Hal lain yang menjadi dasar laporan adalah Hakim tersebut dalam
memeriksa perkara dengan terdakwa Anand Krishna telah menunjukkan sikap
keberpihakan. “Kami memiliki rekaman
sidang yang nanti akan bicara banyak mengenai keberpihakan dari hakim tersebut,”
ujar Humphrey.
Tindakan ini juga melanggar Angka 3.1 (2) keputusan bersama Ketua
Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial .R.U Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009,
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang
menyatakan : “Hakim dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain
yang secara teratur di beracara di
pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau
sikap keberpihakan.
Oleh sebab itu, TIRO pun sempat mewawancarai saksi ahli Prof.
Eddy Hiariej dari Universitas Gajah Mada demi mencari keabsahan sebuah fakta
persidangan. “Saya yakin bahwa dakwaan ini tidak cermat, apa yang dituduhkan
itu sendiri baik secara materi maupun substansi dan dari segi hukumnya pun
sangat lemah. Bagaimana seorang bisa mengaku dilecehkan berulang kali, dan
kemudian datang sendiri seolah minta dilecehkan,” ujar Prof. Eddy Hiariej.
Prof. Eddy Hiariej menambahkan, bahwasanya saksi pelapor
dalam keadaan tidak berdaya. “Nah, tidak berdaya ini secara fisik diikat,
diancam atau bagaimana? Dari apa yang sekarang saya ketahui hal itu tidak
terjadi”.
Bahkan saksi-saksi yang mengaku saksi korban itu tidak
mengukuhkan tuduhan saksi pelapor, akan tetapi terasa bercurhat. Saya tidak
habis pikir kenapa curhatan murahan seperti itu dijadikan dasar untuk
mengangkat kasus ini ke sidang?
“Dalam hukum di manapun, satu saksi berarti tidak ada saksi.
Saksi pelapor dalam kasus ini tidak bisa menghadirkan seorang saksi pun yang
mengaku melihat kejadian yang dituduhkannya. Nama yang disebutnya malah
bertambah,” tutur Prof. Eddy.
Tak hanya itu, terdakwa juga mau ditampilkan sebagai guru
hanya untuk memenuhi syarat pasal 294, padahal untuk guru itu ada undang-undang
yang jelas, apalagi terdakwa sendiri mengaku dalam tulisan-tulisannya bahwa
dirinya tidak mau disebut guru.
“Saya melihat kasus ini penuh dengan keanehan-keanehan dan
saya yakin hakim Albertina Ho pun dapat melihatnya bahwa ada sesuatu, kalau
menurut saya sih konspirasi, untuk menjatuhkan terdakwa,” ujar Prof. Eddy mengakhiri.