Jumat, 25 Januari 2013

Pohon Cabe Rawit Yang Bersedih

Dok. Pribadi

“Kenapa kau bersedih?” tanya pohon jambu air kepada sebatang pohon cabe rawit yang kala itu ia saksikan sedang murung.

“aku sedih karena tak ada yang mau memakan buah yang aku hasilkan. Liat saja buah ku masih bergelantungan,” jawab pohon cabe rawit sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya memperlihatkan buahnya kepada pohon jambu air.

“jangan bersedih hai kawan kecil ku,” hibur si pohon jambu air. “buah mu itu masih kecil-kecil dan memang belum waktunya dipetik,” sambungnya lagi.

“Oh.. begitu yah?,” sahut si pohon cabe rawit dengan mata bersinar. Ia jadi terhibur karena ucapan si pohon jambu air itu.


“ya, kawan kecil ku, bersabarlah dan kau akan terkejut betapa manusia menyukai mu,” lanjut si pohon jambu air

“Terima kasih hai pohon jambu air, aku akan bersabar dan tetap bersemangat menunggu matangnya buah-buah ku sehingga manusia bisa menggunakannya,” jawab si pohon cabe rawit dengan tulus.

**

Di sebuah pekarangan depan rumah nan sederhana tumbuhlah sebuah pohon jambu air yang pandai berbuah, si pemilik rumah tersebut memang sengaja menanamnya selain berguna sebagai pohon peneduh juga karena si pemilik rumah memang sangat menyukai buah-buahan salah satunya buah jambu air.

Pohon jambu air yang ditanam adalah jenis unggulan sehingga setiap kali berbuah, membuat orang-orang yang berlalu lalang di depan rumah tersebut pasti mengaguminya.

Selain pohon jambu air juga ada 3 pohon bunga mawar yang ditanam berdampingan dengan bunganya yang berwarna merah, kuning dan putih. Mereka tampak kompak dan anggun membuat si pemilik rumah mencintai ketiganya.

Sebuah pohon cabe rawit tampak pula tumbuh di salah satu pojok pekarangan tersebut. Ia memang tak ditanam oleh si pemilik rumah itu. Pohon cabe rawit itu tumbuh begitu saja mungkin seekor burung membawa biji cabe rawit yang kemudian tak sengaja menjatuhkannya bersamaan dengan jatuhnya kotoran burung tersebut di sana.

Entah lah, namun pohon cabe rawit itu dibiarkan saja tumbuh dan sang pemilik rumah pun tak keberatan dengan keberadaannya. Sesekali se pemilik rumah juga menyiraminya terutama di kala hujan tak turun. Hal ini membuat si pohon cabe rawit senang sekali. Ia merasa diperhatikan dan dicintai oleh si pemilik rumah.

**
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Kini sudah hampir 2 bulan usia si pohon cabe rawit. Ia tumbuh dengan subur (masih di salah satu pojok pekarangan) dan bersemangat selalu menyongsong datangnya sinar sang mentari. Ia sadar dengan bermandikan hangatnya sinar sang mentari ia bertambah sehat dan subur. Itu menyebabkan banyaknya buah yang ia hasilkan.

Tubuhnya yang tak terlalu tinggi penuh dengan buahnya yang berwarna putih kekuningan bukan hijau. Namun tatkala masak, buahnya akan berubah menjadi merah. Rasanya pedas sekali bukannya manis seperti halnya buah yang dihasilkan si pohon jambu.

Menunggu terus ia tunggu, namun sang pemilik rumah tak jua memetik buahnya. Si pohon cabe rawit bersedih kembali dan bertanya-tanya apakah si pemilik rumah tak menyukainya? Bila tak menyukai keberadaannya mengapa tak ia cabut saja sejak dari dulu? Ia terus bertanya-tanya sendiri dengan mimik sedih.

“hai kawan kecil ku, ada apa? Apa yang membuat mu murung seperti itu kali ini? Bukankah sang mentari tetap bersinar? Lihat tubuh mu subur sekali dan buah mu pun banyak dan hampir masak. Kau seharusnya bersyukur,” tanya si pohon bunga mawar kali itu mengejutkan si pohon cabe rawit.

“Sepertinya si pemilik rumah tak menyukai aku, mereka tak sedikit pun memetik buah ku,” jawab si pohon cabe rawit tak bersemangat.

“siapa bilang demikian? Tiap hari si pemilik rumah tak henti-hentinya mengagumi mu, tubuh mu dan juga buah yang kau hasilkan. Dari pembicaraan mereka, mereka sungguh mencintai mu,” sahut si pohon jambu air tak ketinggalan ikut menghibur.



“Tapi… selama mereka tak menggunakan aku, hati ku bersedih karena aku merasa tak berguna. Buat apa hidup bila tak berguna,” si pohon cabe rawit kian sedih.

“Lihat batang ku, daun-daun ku besar-besar pun demikian dengan buah yang ada pada ku. Tidak kah mereka tergerak untuk memanfaatkan aku. Kan bisa saja mereka menggunakan daun-daun ku untuk memasak bila mereka tak menyukai rasa pedas dari buah ku,” si pohon cabe rawit masih meneruskan kalimatnya. Sesekali ia mengusap buliran bening yang mengalir dari matanya.

“nampaknya memang si pemilik rumah tidak menyukai aku. Mereka ku lihat sering memetik bunga-bunga mu wahai pohon mawar dan meletakkannya dalam vas di ruang tamu. Mereka sungguh menikmati keharuman yang kau tebarkan. Kau juga pohon jambu air, mereka juga sangat menikmati renyah dan manisnya buah yang kau hasilkan. Tetapi… kalau aku…. Buah ku pedas dan mereka tak menyukainya. Aku sungguh sedih. Kenapa buah ku pedas seperti ini, bunga yang aku hasilkan pun tak sebesar dan seharum kau bunga mawar,” sambung si pohon cabe rawit.

Pohon bunga mawar dan pohon jambu air geleng-geleng kepala tak tahu apa yang harus mereka katakan atau lakukan untuk menghibur kawan kecil mereka itu.

Sejenak si pohon bunga mawar menarik dan membuang nafas perlahan. Beberapa saat lamanya ia melakukan itu. Ia teringat wejangan salah seorang bijak bahwasanya dengan menarik dan membuang nafas perlahan-lahan membuat detak jantung dan otak menjadi kian lambat sehingga membuat pikiran menjadi jernih.

Sementara itu si pohon jambu air masih berusaha untuk menghibur si pohon cabe rawit.

Dan tiba-tiba…

“Aha….. aku ingat sekarang,” si pohon bunga mawar mengejutkan mereka.

“Beberapa hari yang lalu aku mendengar bahwa si pemilik rumah akan mengundang kerabat mereka yang di Bandung dan Jogjakarta untuk memperlihatkan suburnya diri mu wahai kawan kecil. Kerabat mereka itu termasuk penggemar masakan pedas dan rencananya mereka itu juga akan membawa beberapa bibit buah mu ke tempat mereka tinggal. Kau disebut-sebut sebagai salah satu tanaman cabe rawit unggulan karena daun dan buah mu yang besar-besar itu,” pohon bunga mawar mengatakan kabar tersebut dengan semangat. Ya, si pemilik rumah memang berencana seperti itu.

Si pohon cabe rawit berbinar-binar, hampir tak percaya ia terus menatap si bunga mawar untuk memastikan bahwa ucapannya itu tidaklah bohong belaka demi menghibur dirinya yang sedang sedih.

“Tentu saja kawan kecil, aku tidak berbohong. Hari minggu besok mereka akan datang. Kau sebaiknya bersiap-siap diri menyambut kedatangan mereka dengan ceria,” pohon bunga mawar menyambung ucapannya.

“wah, selamat yah kawan kecil. Kini kau tidak boleh bersedih lagi. Kau harus selalu ingat bahwasanya Tuhan menciptakan semua mahluk dengan peran, tugas dan manfaatnya masing-masing. Dia tidak pernah menciptakan sesuatu apa pun dengan sia-sia. Dan ingat pula untuk tidak membanding-bandingkan diri mu dengan yang lainnya. Kau harus selalu ingat bahwa Dia sangat mencintai semua ciptaanNya. Jangan ragukan itu karena ketika kau ragu tentang cintaNya, maka kau telah mengingkariNya,” kali ini si pohon jambu air yang mengambil kesempatan untuk menasehatinya.

Buliran bening tak tertahankan untuk mengalir di ke dua belah mata si pohon cabe rawit. Ia tak kuasa berkata-kata mendengar nasehat dari para sahabatnya itu, si pohon bunga mawar dan pohon jambu air.

Sekuat tenaga ia mencoba untuk menguasai dirinya.

“Tenang kan diri mu, kawan kecil,” pohon bunga mawar kini kembali berkata

“kami tak bermaksud untuk menggurui mu, tapi sebagai sahabat maka tak ada salahnya kita untuk saling menasehati, bukan? Aturlah nafas mu kini, tarik nafas perlahan-lahan dan buang nafas perlahan-lahan pula. Demikian kau akan bisa mengendalikan tangis mu itu,” lanjut si pohon bunga mawar dengan senyum disunggingnya.

Si pohon cabe rawit mencoba mengatur nafasnya. Ia menarik dan membuang nafas dengan perlahan-lahan sambil menutup matanya. Perlahan-lahan ia dapat menguasai dirinya dan buliran bening itu pelan tapi pasti berkurang bergulir.

Setelah bisa menguasai dirinya, ia mencoba membuka pembicaraan.

“Aku sungguh-sungguh beruntung memilki sahabat seperti kalian. Kalian tak memandang rendah aku dan tak pernah sedikit pun menghina kondisi ku yang kecil ini. Benar apa yang kau katakan hai pohon jambu air, Tuhan sangat mencintai aku dengan memberikan kalian sebagai sahabat. Terima kasih Tuhan,”

“Nah, begitu dong….. kau ini kan kawan kecil yang juga adalah tanaman unggulan. Buat apa selalu murung. Aku suka sekali melihat kau tersenyum. Kau ditakdirkan bukan untuk murung seperti itu, tapi kau ditakdirkan untuk membakar semangat hidup siapa pun yang memakan buah mu yang terkenal pedas itu he he he,” si pohon jambu air sedikit berkelakar membuat semua menjadi tertawa

“Aku suka dengan kata-kata mu itu kawan bahwa takdir ku adalah untuk membakar semangat hidup tiap orang yang memakan buah ku,” senyum-senyum si pohon cabe rawit mengucapkannya

Ah… hari yang indah ketika semua menyadari bahwa setiap mahluk ciptaanNya memiliki peran dan tugas serta manfaatnya masing-masing sehingga kita tak perlu bersaing satu sama lain. Toh seperti yang pernah diucapkan oleh seorang bijak bahwa kita bagaikan keping-keping puzzle kehidupan yang saling melengkapi.


Jum’at, 25 January 2013
Flag Counter