Dok. Pribadi |
“Kenapa kau bersedih?” tanya pohon jambu air kepada
sebatang pohon cabe rawit yang kala itu ia saksikan sedang murung.
“aku sedih karena tak ada yang mau memakan buah yang aku
hasilkan. Liat saja buah ku masih bergelantungan,” jawab pohon cabe rawit
sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya memperlihatkan buahnya kepada pohon jambu
air.
“jangan bersedih hai kawan kecil ku,” hibur si pohon
jambu air. “buah mu itu masih kecil-kecil dan memang belum waktunya dipetik,”
sambungnya lagi.
“Oh.. begitu yah?,” sahut si pohon cabe rawit dengan mata
bersinar. Ia jadi terhibur karena ucapan si pohon jambu air itu.
“ya, kawan kecil ku, bersabarlah dan kau akan terkejut
betapa manusia menyukai mu,” lanjut si pohon jambu air
“Terima kasih hai pohon jambu air, aku akan bersabar dan
tetap bersemangat menunggu matangnya buah-buah ku sehingga manusia bisa
menggunakannya,” jawab si pohon cabe rawit dengan tulus.
**
Di sebuah pekarangan depan rumah nan sederhana tumbuhlah
sebuah pohon jambu air yang pandai berbuah, si pemilik rumah tersebut memang sengaja
menanamnya selain berguna sebagai pohon peneduh juga karena si pemilik rumah
memang sangat menyukai buah-buahan salah satunya buah jambu air.
Pohon jambu air yang ditanam adalah jenis unggulan
sehingga setiap kali berbuah, membuat orang-orang yang berlalu lalang di depan
rumah tersebut pasti mengaguminya.
Selain pohon jambu air juga ada 3 pohon bunga mawar yang
ditanam berdampingan dengan bunganya yang berwarna merah, kuning dan putih.
Mereka tampak kompak dan anggun membuat si pemilik rumah mencintai ketiganya.
Sebuah pohon cabe rawit tampak pula tumbuh di salah satu
pojok pekarangan tersebut. Ia memang tak ditanam oleh si pemilik rumah itu.
Pohon cabe rawit itu tumbuh begitu saja mungkin seekor burung membawa biji cabe
rawit yang kemudian tak sengaja menjatuhkannya bersamaan dengan jatuhnya
kotoran burung tersebut di sana.
Entah lah, namun pohon cabe rawit itu dibiarkan saja
tumbuh dan sang pemilik rumah pun tak keberatan dengan keberadaannya. Sesekali
se pemilik rumah juga menyiraminya terutama di kala hujan tak turun. Hal ini
membuat si pohon cabe rawit senang sekali. Ia merasa diperhatikan dan dicintai
oleh si pemilik rumah.
**
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Kini sudah
hampir 2 bulan usia si pohon cabe rawit. Ia tumbuh dengan subur (masih di salah
satu pojok pekarangan) dan bersemangat selalu menyongsong datangnya sinar sang
mentari. Ia sadar dengan bermandikan hangatnya sinar sang mentari ia bertambah
sehat dan subur. Itu menyebabkan banyaknya buah yang ia hasilkan.
Tubuhnya yang tak terlalu tinggi penuh dengan buahnya
yang berwarna putih kekuningan bukan hijau. Namun tatkala masak, buahnya akan berubah
menjadi merah. Rasanya pedas sekali bukannya manis seperti halnya buah yang
dihasilkan si pohon jambu.
Menunggu terus ia tunggu, namun sang pemilik rumah tak
jua memetik buahnya. Si pohon cabe rawit bersedih kembali dan bertanya-tanya
apakah si pemilik rumah tak menyukainya? Bila tak menyukai keberadaannya
mengapa tak ia cabut saja sejak dari dulu? Ia terus bertanya-tanya sendiri
dengan mimik sedih.
“hai kawan kecil ku, ada apa? Apa yang membuat mu murung
seperti itu kali ini? Bukankah sang mentari tetap bersinar? Lihat tubuh mu
subur sekali dan buah mu pun banyak dan hampir masak. Kau seharusnya
bersyukur,” tanya si pohon bunga mawar kali itu mengejutkan si pohon cabe
rawit.
“Sepertinya si pemilik rumah tak menyukai aku, mereka tak
sedikit pun memetik buah ku,” jawab si pohon cabe rawit tak bersemangat.
“siapa bilang demikian? Tiap hari si pemilik rumah tak
henti-hentinya mengagumi mu, tubuh mu dan juga buah yang kau hasilkan. Dari
pembicaraan mereka, mereka sungguh mencintai mu,” sahut si pohon jambu air tak
ketinggalan ikut menghibur.
“Tapi… selama mereka tak menggunakan aku, hati ku
bersedih karena aku merasa tak berguna. Buat apa hidup bila tak berguna,” si
pohon cabe rawit kian sedih.
“Lihat batang ku, daun-daun ku besar-besar pun demikian
dengan buah yang ada pada ku. Tidak kah mereka tergerak untuk memanfaatkan aku.
Kan bisa saja mereka menggunakan daun-daun ku untuk memasak bila mereka tak
menyukai rasa pedas dari buah ku,” si pohon cabe rawit masih meneruskan
kalimatnya. Sesekali ia mengusap buliran bening yang mengalir dari matanya.
“nampaknya memang si pemilik rumah tidak menyukai aku.
Mereka ku lihat sering memetik bunga-bunga mu wahai pohon mawar dan
meletakkannya dalam vas di ruang tamu. Mereka sungguh menikmati keharuman yang
kau tebarkan. Kau juga pohon jambu air, mereka juga sangat menikmati renyah dan
manisnya buah yang kau hasilkan. Tetapi… kalau aku…. Buah ku pedas dan mereka
tak menyukainya. Aku sungguh sedih. Kenapa buah ku pedas seperti ini, bunga
yang aku hasilkan pun tak sebesar dan seharum kau bunga mawar,” sambung si
pohon cabe rawit.
Pohon bunga mawar dan pohon jambu air geleng-geleng
kepala tak tahu apa yang harus mereka katakan atau lakukan untuk menghibur
kawan kecil mereka itu.
Sejenak si pohon bunga mawar menarik dan membuang nafas
perlahan. Beberapa saat lamanya ia melakukan itu. Ia teringat wejangan salah
seorang bijak bahwasanya dengan menarik dan membuang nafas perlahan-lahan
membuat detak jantung dan otak menjadi kian lambat sehingga membuat pikiran
menjadi jernih.
Sementara itu si pohon jambu air masih berusaha untuk
menghibur si pohon cabe rawit.
Dan tiba-tiba…
“Aha….. aku ingat sekarang,” si pohon bunga mawar
mengejutkan mereka.
“Beberapa hari yang lalu aku mendengar bahwa si pemilik
rumah akan mengundang kerabat mereka yang di Bandung dan Jogjakarta untuk
memperlihatkan suburnya diri mu wahai kawan kecil. Kerabat mereka itu termasuk
penggemar masakan pedas dan rencananya mereka itu juga akan membawa beberapa
bibit buah mu ke tempat mereka tinggal. Kau disebut-sebut sebagai salah satu
tanaman cabe rawit unggulan karena daun dan buah mu yang besar-besar itu,”
pohon bunga mawar mengatakan kabar tersebut dengan semangat. Ya, si pemilik
rumah memang berencana seperti itu.
Si pohon cabe rawit berbinar-binar, hampir tak percaya ia
terus menatap si bunga mawar untuk memastikan bahwa ucapannya itu tidaklah
bohong belaka demi menghibur dirinya yang sedang sedih.
“Tentu saja kawan kecil, aku tidak berbohong. Hari minggu
besok mereka akan datang. Kau sebaiknya bersiap-siap diri menyambut kedatangan
mereka dengan ceria,” pohon bunga mawar menyambung ucapannya.
“wah, selamat yah kawan kecil. Kini kau tidak boleh
bersedih lagi. Kau harus selalu ingat bahwasanya Tuhan menciptakan semua mahluk
dengan peran, tugas dan manfaatnya masing-masing. Dia tidak pernah menciptakan
sesuatu apa pun dengan sia-sia. Dan ingat pula untuk tidak
membanding-bandingkan diri mu dengan yang lainnya. Kau harus selalu ingat bahwa
Dia sangat mencintai semua ciptaanNya. Jangan ragukan itu karena ketika kau
ragu tentang cintaNya, maka kau telah mengingkariNya,” kali ini si pohon jambu
air yang mengambil kesempatan untuk menasehatinya.
Buliran bening tak tertahankan untuk mengalir di ke dua
belah mata si pohon cabe rawit. Ia tak kuasa berkata-kata mendengar nasehat
dari para sahabatnya itu, si pohon bunga mawar dan pohon jambu air.
Sekuat tenaga ia mencoba untuk menguasai dirinya.
“Tenang kan diri mu, kawan kecil,” pohon bunga mawar kini
kembali berkata
“kami tak bermaksud untuk menggurui mu, tapi sebagai sahabat
maka tak ada salahnya kita untuk saling menasehati, bukan? Aturlah nafas mu
kini, tarik nafas perlahan-lahan dan buang nafas perlahan-lahan pula. Demikian kau
akan bisa mengendalikan tangis mu itu,” lanjut si pohon bunga mawar dengan
senyum disunggingnya.
Si pohon cabe rawit mencoba mengatur nafasnya. Ia menarik
dan membuang nafas dengan perlahan-lahan sambil menutup matanya. Perlahan-lahan
ia dapat menguasai dirinya dan buliran bening itu pelan tapi pasti berkurang
bergulir.
Setelah bisa menguasai dirinya, ia mencoba membuka
pembicaraan.
“Aku sungguh-sungguh beruntung memilki sahabat seperti
kalian. Kalian tak memandang rendah aku dan tak pernah sedikit pun menghina
kondisi ku yang kecil ini. Benar apa yang kau katakan hai pohon jambu air,
Tuhan sangat mencintai aku dengan memberikan kalian sebagai sahabat. Terima
kasih Tuhan,”
“Nah, begitu dong….. kau ini kan kawan kecil yang juga
adalah tanaman unggulan. Buat apa selalu murung. Aku suka sekali melihat kau
tersenyum. Kau ditakdirkan bukan untuk murung seperti itu, tapi kau ditakdirkan
untuk membakar semangat hidup siapa pun yang memakan buah mu yang terkenal
pedas itu he he he,” si pohon jambu air sedikit berkelakar membuat semua
menjadi tertawa
“Aku suka dengan kata-kata mu itu kawan bahwa takdir ku
adalah untuk membakar semangat hidup tiap orang yang memakan buah ku,”
senyum-senyum si pohon cabe rawit mengucapkannya
Ah… hari yang indah ketika semua menyadari bahwa setiap
mahluk ciptaanNya memiliki peran dan tugas serta manfaatnya masing-masing
sehingga kita tak perlu bersaing satu sama lain. Toh seperti yang pernah
diucapkan oleh seorang bijak bahwa kita bagaikan keping-keping puzzle kehidupan
yang saling melengkapi.
Jum’at, 25 January 2013