Awalnya sih aku tak tega mengajukan pertanyaan pada
seorang teman dekat ku. Ya, pertanyaan yang aku takut akan menyinggung
perasaannya. Pertanyaannya sih tak panjang lebar, singkat dan padat saja tapi
berhubung aku berusaha untuk menjaga perasaan teman karib ku itu, aku
berkali-kali tak jadi menyampaikannya.
Sudah lama pertanyaan yang sama masih saja ada dalam
benak ku. Terkadang hadir begitu saja, dan aku bertekad untuk menanyakannya,
tapi… begitu berhadapan dengan nya aku kembali mempertimbangkannya dan akhirnya
ku simpan saja sendiri pertanyaan itu.
Teman karib ku itu tinggal tak jauh dari rumah ku. Tinggal
di sebuah rumah yang berukuran besar bercat biru muda dengan beranda cukup luas
yang dipenuhi tanaman buah belimbing, rambutan dan nangka dan tanaman
bunga-bungaan. Ke dua orang tuanya memang terkenal sebagai kalangan cukup
berada.
Sejak kecil kami berteman akrab hingga dewasa kini. Ia tak
ubahnya seperti teman-teman sepermainan ku yang lain walaupun kondisi fisiknya
boleh dibilang berbeda. Aku malah semakin senang mempunyai seorang teman seperti
dia. (Mungkin) tak sempurna fisiknya tapi… ia berotak cerdas dan baik hati
pula.
Pertanyaan yang ingin kuajukan padanya masih tersimpan
rapi. Tersegel dalam benak ku, menunggu saat yang tepat untuk diluncurkan dari
bibir ku.
Berat terasa tapi…. Tanpa berniat untuk menyinggung
perasaannya pada suatu kali aku menanyakannya juga karena ku pikir sudah
terlalu lama aku menyimpannya. Pikir dipikir toh aku juga ingin belajar dari
nya bagaimana menjadi sosok yang penuh percaya diri dan terus bersemangat.
Ya, teman ku itu memang patut diacungi jempol. Dengan kekurangan
yang ada pada tataran fisiknya, ia tetap bersemangat dan percaya diri tampil di
muka umum. Prestasinya di sekolah dulu tak kalah dengan kami-kami yang (katanya)
dianugerahkan fisik yang normal.
Saat ku ajukan pertanyaan itu, ia tampak biasa saja. Air mukanya
tak berubah. Ia menjawab dengan enteng saja. Karena mereka mempunyai mata. Itu jawaban
singkatnya atas pertanyaan ku tentang apa pendapatnya mengenai orang-orang yang
kerap kali memperhatikan kekurangan fisiknya.
Diteruskannya lagi bahwa dulu ia juga seringkali merasa
minder karena kondisi fisiknya. Ia pun malu karena seringkali diperhatikan oleh
orang-orang di sekelilingnya. Menurutnya orang-orang memandanginya seperti
layaknya melihat mahluk aneh dari luar angkasa sana bahkan ada yang
memandanginya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Walah walah…
Seiring dengan berjalannya waktu dan usianya yang bertambah,
ia tak terlalu menghiraukan tatapan orang-orang tersebut. Ia hanya sering kali
berucap dalam hati bahwa biarkan saja mereka melihat seperti itu, kan itu mata
mereka sendiri. Biar saja nanti juga mereka cape sendiri.
Tak lupa aku mengucapkan terima kasih dan juga mohon maaf
atas pertanyaan ku tadi. Tapi ia hanya tersenyum saja. Ia juga berterima kasih
pada ku karena menurutnya aku adalah seorang sahabat yang jujur dan tulus. Ah..
aku jadi malu padanya.
Aku berkata dalam hati bahwasanya darinya lah aku belajar
banyak. Terima kasih sahabat, ku mau persahabatan kita tak akan berakhir hingga
Sang Pemilik Jiwa mengakhirinya.
Sabtu, 26 January 2013