Aku memang terbilang baru di kota
Bandung ini, kurang lebih baru sebulan aku menikmati cuacanya dan suasana di
kota yang terkenal sebagai kota kembang ini. Kantor di mana aku bekerja yang
berpusat di Jakarta sebulan yang lalu membuka kantor cabang baru di kota
Bandung ini sehingga sebagai salah satu pegawai yang diandalkan, aku diutus
oleh bos ku untuk mengepalai kantor cabang itu beberapa bulan ke depan. Aku
tidak bisa menolaknya dan demi kepentingan kantor yang juga menjadi kepentingan
prioritas ku, maka aku pun bersedia untuk itu.
“Kita mau ke mana pak Agus,”
tanya ku agak penasaran karena ia tidak memberi tahu ke mana akan mengajakku.
“Tenang aja lah, pasti kamu akan
senang dengan kejutan ku kali ini,” jawab pak Agus sambil senyam-senyum
sendiri. Ia yakin pasti aku akan berterima kasih padanya karena telah membawa
ku ke tempat yang masih ia rahasiakan itu.
“hmm… aku agak curiga nih,” gumam
ku sendiri.
Ada perasaan yang aneh tiap kali
aku bercakap-cakap dengan teman ku itu. Ia memang bisa dibilang tidak muda lagi
dibandingkan dengan usia ku, usianya sudah setengah abad lewat. Oleh karenanya aku
memanggilnya dengan panggilan pak Agus karena aku merasa ia se usia dengan
ayahku.
“sudah sebulan ini aku lihat kamu
tak pergi ke tempat lain selain kantor dan tempat kost, pasti kamu jenuh kan?”
lanjut pak Agus meneruskan pembicaraan mereka dalam perjalanan menuju tempat
yang ia rahasiakan. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang dan tak
terburu-buru. Jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 17.25
Aku hanya bisa tersenyum sambil
memandangi wajahnya dengan seksama. Kecurigaan ku masih ada dalam ruang
benakku, tertutup rapi dengan sikapku yang ku buat sewajar adanya.
Kurang lebih setengah jam
perjalanan, pak Agus menghentikan mobilnya di depan sebuah ruko yang terletak
dalam sebuah kompleks perkantoran. Ruko
dengan dinding berwarna ungu muda itu nampak sepi dari luar.
Kaca-kacanya yang
agak gelap tertutup tirai dari dalam. Di depan pintu masuknya hanya ada sebuah
keset bertuliskan “welcome” dan sebuah pot bunga di sisi kiri dan kanannya.
“Tempat apa ini pak?” tanya ku
ingin tahu
“Sudah lah, pasti kau suka,” ia
mengerlingkan salah satu matanya ke arah ku membuatku makin curiga
“Yuk, kita masuk,” ajaknya lebih
lanjut
Dengan perasaan tak menentu, aku
pun mengikutinya dari belakang. Ia masuk lebih dahulu.
Harum bunga mawar tertangkap oleh
syaraf-syaraf penciuman ku membuat aku merasa rileks begitu kami memasuki ruko
tersebut. Dengan ramah kami disambut oleh dua orang perempuan muda dengan
pakaian yang agak seksi.
“hmmm…apakah ini…. Tempat yang
diceritakan oleh salah seorang staff kantor ku kemarin?” Aku bertanya-tanya
dalam hati.
Kemarin memang salah seorang
staff di kantor ku curhat kalau ia baru saja diajak pergi oleh pak Agus ke
tempat rileksasi, di tempat itu ia dipijat oleh seorang perempuan muda yang
berbusana menantang katanya dan diakhir sesi pemijatan, sang perempuan itu
menawarkan padanya bila mana ia ingin dilayani “lebih” itu bisa saja. Alias
bisa dibooking.
“hmmm…..” pak Agus… pak Agus…..
gumam ku tak percaya dengan apa yang dilakukannya pula pada ku. Setahu ku ia
sudah berkeluarga. Istrinya meski usianya pun sudah setengah baya namun masih
kelihatan cantik dan ke dua putra dan putrinya pun nampak sebagai anak yang
baik dan berprestasi. Aku menganggap ia memiliki sebuah keluarga bahagia.
“Tolong layani teman ku ini mba,
dia baru di kota ini,” pinta pak Agus pada seorang perempuan muda berkaos ungu ketat dengan jeans yang tidak
baru lagi.
“Kasih dia servis yang memuaskan
yah, nanti aku yang bayar,” sambungnya sambil berlalu menuju sebuah kamar
ditemani seorang perempuan muda lainnya. Digandengnya perempuan itu dengan
genitnya.
Perempuan muda berkaos ungu ketat
itu segera menghampiri ku, duduk di sebelahku sambil tersenyum manis. Dibandingkan dengan perempuan-perempuan muda
yang ada di tempat itu, nampaknya ia agak pemalu. Mungkin ia baru di tempat itu
simpul ku.
Untuk menghilangkan kekakuan di
antara kami, aku akhirnya memberanikan diri untuk memulai percakapan meski aku
tidak nyaman berada di tempat itu.
“Maaf mba, saya minta coke,” pinta ku padanya. Ku lihat tempat itu menyediakan minuman ringan sampai minuman beralkohol lokal & internasional.
“Yang lainnya apa mas,” tanya nya
sambil terus memperhatikan wajahku
“itu saja, terima kasih,” jawab
ku singkat dengan tetap sopan
***
“Dik, aku mencintai mu, hanya
kamu saja yang menjadi "pakaianku". Aku akan menjaga kehormatan mu dengan menjaga
kehormatan diri ku,” aku berbisik pelan pada seorang perempuan yang tengah
pulas tertidur di samping ku sambil ku perhatikan wajahnya yang ayu.
Tak cantik memang perempuan yang
aku pilih menjadi pendamping ku di masa kehidupan ku kali ini, tapi ia ayu dan
aku tak bosan memandangnya. Ia begitu sederhana dan penyayang.
Dengan sabar ia selalu melayani
kebutuhan ku baik kebutuhan jasmani ku ataupun rohani ku. Ia memang tak
sempurna dalam penampilan fisiknya. Ia tak secantik perempuan-perempuan yang ku
temui di tempat yang disuguhkan oleh pak Agus, ia tak pandai berdandan seperti
mereka. Ia sederhana dengan penampilan yang apa adanya.
Pernikahan kami akan memasuki
tahun ke 3 bulan depan, dan aku tetap sayang padanya, tetap mencintainya. Ku
pupuk terus cintaku padanya selalu. Aku berusaha untuk menjadi seorang lelaki
sejati baginya seorang.
Tak kan ku lupa bagaimana ia
selalu menyemangati ku di kala-kala sulit, tak kan pula ku lupa betapa ia
selalu mempersiapkan keperluanku setiap hari. Hal-hal kecil yang ia lakukan
benar-benar membuatku tetap mencintainya. Jarang sekali ia mengeluh meski
terkadang ia memperlihatkan wajah lelahnya yang tak hanya mengurus putra kami
namun juga menerima order membuat kue dari pelanggannya. Ia memang membantu
keuangan keluarga kami dengan membuat kue berdasarkan pesanan. Ketrampilannya
benar-benar membuatnya bahagia karena menurutnya ia bisa membantu menghidupi
keluarga kami. Ia memang benar-benar seorang istri yang baik. Aku sangat
beruntung memilikinya.
“Dik…sejak aku mengucapkan ijab qabul di depan penghulu 3 tahun yang lalu disaksikan oleh kedua orang tua beserta kerabat-kerabat kita, aku bertekad untuk membahagiakan mu
semampu yang aku bisa. Aku pun minta bantuan pada mu agar tekad ku itu
terwujud. Seperti yang aku katakan pada mu bahwa pernikahan kita harus kita
bangun bersama-sama, suka ataupun duka, manis ataupun pahit, kta harus tanggung
dan pikul bersama-sama”
“Dik… aku mau tatkala maut
menjemput ku, kamu melepaskan ku dengan iklas dan lega karena kita sudah
bersama-sama membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Itu pun sudah ku utarakan
pada mu dan kau pun menyetujuinya. Kamu pun berkata demikian, aku harus
melepaskan mu dengan iklas tatkala maut menjemputmu. Hari demi hari yang kita
rajut bersama dalam pernikahan ini semata demi perkembangan bathin kita
bersama. Dan tatkala kematian menjemput kita, maka kita harus melanjutkan perjalanan kita
masing-masing” aku masih berbisik
padanya di tengah malam itu.
“Dik… aku akan selalu
setia pada mu, demi kebahagiaan kita bersama, aku tak akan menghianati cinta
kita,” lanjut ku
Malam itu aku memandangi dengan
sepenuh hati istriku yang tengah tertidur nyenyak.
Sejak kejadian bersama pak Agus,
tak lama kemudian aku memutuskan untuk minta pada bos ku agar aku kembali ke
Jakarta saja demi bersama istri dan putraku yang masih balita.
Aku kembali ke Jakarta, tinggal
bersama keluarga kecil ku, masih dengan tekad yang sama untuk membina keluarga
bahagia.
Hari itu, beberapa minggu yang
lalu aku mengatakan tidak pada perempuan berkaos ungu ketat berbalut celana jeans yang tak lagi baru…..
Image: Google search