Kamis, 01 November 2012

Ku katakan tidak pada perempuan itu...


 “Ayo ikut aku, pasti kamu akan jauh lebih baik,” ajak pak Agus, salah seorang teman di kantor ku siang itu.

Aku memang terbilang baru di kota Bandung ini, kurang lebih baru sebulan aku menikmati cuacanya dan suasana di kota yang terkenal sebagai kota kembang ini. Kantor di mana aku bekerja yang berpusat di Jakarta sebulan yang lalu membuka kantor cabang baru di kota Bandung ini sehingga sebagai salah satu pegawai yang diandalkan, aku diutus oleh bos ku untuk mengepalai kantor cabang itu beberapa bulan ke depan. Aku tidak bisa menolaknya dan demi kepentingan kantor yang juga menjadi kepentingan prioritas ku, maka aku pun bersedia untuk itu.

“Kita mau ke mana pak Agus,” tanya ku agak penasaran karena ia tidak memberi tahu ke mana akan mengajakku.

“Tenang aja lah, pasti kamu akan senang dengan kejutan ku kali ini,” jawab pak Agus sambil senyam-senyum sendiri. Ia yakin pasti aku akan berterima kasih padanya karena telah membawa ku ke tempat yang masih ia rahasiakan itu.

“hmm… aku agak curiga nih,” gumam ku sendiri.

Ada perasaan yang aneh tiap kali aku bercakap-cakap dengan teman ku itu. Ia memang bisa dibilang tidak muda lagi dibandingkan dengan usia ku, usianya sudah  setengah abad lewat. Oleh karenanya aku memanggilnya dengan panggilan pak Agus karena aku merasa ia se usia dengan ayahku.

“sudah sebulan ini aku lihat kamu tak pergi ke tempat lain selain kantor dan tempat kost, pasti kamu jenuh kan?” lanjut pak Agus meneruskan pembicaraan mereka dalam perjalanan menuju tempat yang ia rahasiakan. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang dan tak terburu-buru. Jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 17.25

Aku hanya bisa tersenyum sambil memandangi wajahnya dengan seksama. Kecurigaan ku masih ada dalam ruang benakku, tertutup rapi dengan sikapku yang ku buat sewajar adanya.

Kurang lebih setengah jam perjalanan, pak Agus menghentikan mobilnya di depan sebuah ruko yang terletak dalam sebuah kompleks perkantoran.  Ruko dengan dinding berwarna ungu muda itu nampak sepi dari luar. 

Kaca-kacanya yang agak gelap tertutup tirai dari dalam. Di depan pintu masuknya hanya ada sebuah keset bertuliskan “welcome” dan sebuah pot bunga di sisi kiri dan kanannya.

“Tempat apa ini pak?” tanya ku ingin tahu

“Sudah lah, pasti kau suka,” ia mengerlingkan salah satu matanya ke arah ku membuatku makin curiga

“Yuk, kita masuk,” ajaknya lebih lanjut

Dengan perasaan tak menentu, aku pun mengikutinya dari belakang. Ia masuk lebih dahulu.
Harum bunga mawar tertangkap oleh syaraf-syaraf penciuman ku membuat aku merasa rileks begitu kami memasuki ruko tersebut. Dengan ramah kami disambut oleh dua orang perempuan muda dengan pakaian yang agak seksi.

“hmmm…apakah ini…. Tempat yang diceritakan oleh salah seorang staff kantor ku kemarin?” Aku bertanya-tanya dalam hati.

Kemarin memang salah seorang staff di kantor ku curhat kalau ia baru saja diajak pergi oleh pak Agus ke tempat rileksasi, di tempat itu ia dipijat oleh seorang perempuan muda yang berbusana menantang katanya dan diakhir sesi pemijatan, sang perempuan itu menawarkan padanya bila mana ia ingin dilayani “lebih” itu bisa saja. Alias bisa dibooking.

“hmmm…..” pak Agus… pak Agus….. gumam ku tak percaya dengan apa yang dilakukannya pula pada ku. Setahu ku ia sudah berkeluarga. Istrinya meski usianya pun sudah setengah baya namun masih kelihatan cantik dan ke dua putra dan putrinya pun nampak sebagai anak yang baik dan berprestasi. Aku menganggap ia memiliki sebuah keluarga bahagia.

“Tolong layani teman ku ini mba, dia baru di kota ini,” pinta pak Agus pada seorang perempuan muda  berkaos ungu ketat dengan jeans yang tidak baru lagi.

“Kasih dia servis yang memuaskan yah, nanti aku yang bayar,” sambungnya sambil berlalu menuju sebuah kamar ditemani seorang perempuan muda lainnya. Digandengnya perempuan itu dengan genitnya.

Perempuan muda berkaos ungu ketat itu segera menghampiri ku, duduk di sebelahku sambil tersenyum manis.  Dibandingkan dengan perempuan-perempuan muda yang ada di tempat itu, nampaknya ia agak pemalu. Mungkin ia baru di tempat itu simpul ku.

Untuk menghilangkan kekakuan di antara kami, aku akhirnya memberanikan diri untuk memulai percakapan meski aku tidak nyaman berada di tempat itu.

“Maaf mba, saya minta coke,” pinta ku padanya. Ku lihat tempat itu menyediakan minuman ringan sampai minuman beralkohol lokal & internasional.

“Yang lainnya apa mas,” tanya nya sambil terus memperhatikan wajahku

“itu saja, terima kasih,” jawab ku singkat dengan tetap sopan

***
“Dik, aku mencintai mu, hanya kamu saja yang menjadi "pakaianku". Aku akan menjaga kehormatan mu dengan menjaga kehormatan diri ku,” aku berbisik pelan pada seorang perempuan yang tengah pulas tertidur di samping ku sambil ku perhatikan wajahnya yang ayu.

Tak cantik memang perempuan yang aku pilih menjadi pendamping ku di masa kehidupan ku kali ini, tapi ia ayu dan aku tak bosan memandangnya. Ia begitu sederhana dan penyayang.

Dengan sabar ia selalu melayani kebutuhan ku baik kebutuhan jasmani ku ataupun rohani ku. Ia memang tak sempurna dalam penampilan fisiknya. Ia tak secantik perempuan-perempuan yang ku temui di tempat yang disuguhkan oleh pak Agus, ia tak pandai berdandan seperti mereka. Ia sederhana dengan penampilan yang apa adanya.

Pernikahan kami akan memasuki tahun ke 3 bulan depan, dan aku tetap sayang padanya, tetap mencintainya. Ku pupuk terus cintaku padanya selalu. Aku berusaha untuk menjadi seorang lelaki sejati baginya seorang.

Tak kan ku lupa bagaimana ia selalu menyemangati ku di kala-kala sulit, tak kan pula ku lupa betapa ia selalu mempersiapkan keperluanku setiap hari. Hal-hal kecil yang ia lakukan benar-benar membuatku tetap mencintainya. Jarang sekali ia mengeluh meski terkadang ia memperlihatkan wajah lelahnya yang tak hanya mengurus putra kami namun juga menerima order membuat kue dari pelanggannya. Ia memang membantu keuangan keluarga kami dengan membuat kue berdasarkan pesanan. Ketrampilannya benar-benar membuatnya bahagia karena menurutnya ia bisa membantu menghidupi keluarga kami. Ia memang benar-benar seorang istri yang baik. Aku sangat beruntung memilikinya.

“Dik…sejak aku mengucapkan ijab qabul di depan penghulu 3 tahun yang lalu disaksikan oleh kedua orang tua beserta kerabat-kerabat kita, aku bertekad untuk membahagiakan mu semampu yang aku bisa. Aku pun minta bantuan pada mu agar tekad ku itu terwujud. Seperti yang aku katakan pada mu bahwa pernikahan kita harus kita bangun bersama-sama, suka ataupun duka, manis ataupun pahit, kta harus tanggung dan pikul bersama-sama”

“Dik… aku mau tatkala maut menjemput ku, kamu melepaskan ku dengan iklas dan lega karena kita sudah bersama-sama membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Itu pun sudah ku utarakan pada mu dan kau pun menyetujuinya. Kamu pun berkata demikian, aku harus melepaskan mu dengan iklas tatkala maut menjemputmu. Hari demi hari yang kita rajut bersama dalam pernikahan ini semata demi perkembangan bathin kita bersama. Dan tatkala kematian menjemput kita, maka  kita harus melanjutkan perjalanan kita masing-masing”  aku masih berbisik padanya di tengah malam itu.

“Dik… aku akan selalu setia pada mu, demi kebahagiaan kita bersama, aku tak akan menghianati cinta kita,” lanjut ku

Malam itu aku memandangi dengan sepenuh hati istriku yang tengah tertidur nyenyak.

Sejak kejadian bersama pak Agus, tak lama kemudian aku memutuskan untuk minta pada bos ku agar aku kembali ke Jakarta saja demi bersama istri dan putraku yang masih balita.

Aku kembali ke Jakarta, tinggal bersama keluarga kecil ku, masih dengan tekad yang sama untuk membina keluarga bahagia.

Hari itu, beberapa minggu yang lalu aku mengatakan tidak pada perempuan berkaos ungu ketat berbalut celana jeans yang tak lagi baru…..


Image: Google search
Flag Counter