“Kok gak diteruskan?” sebuah tanya muncul
“ah, malas…. Ceritanya jelek, aku sendiri ga tau mau nulis
apa, padahal aku harus belajar menulis,” jawab ku sendiri agak ketus
“ya, kalau begitu menulis lah,” suara itu kembali
“tapi aku ga tau mau nulis apa, kau lihat sendiri tadi aku
sudah berupaya menulis, tapi… apa coba. Tulisan itu ku hapus kembali. Ku pikir
itu jelek, ga ada artinya,” sambungku
“coba kau istirahatkan pikiran mu sejenak dari pikiran untuk
menulis sesuatu yang bagus, kalau ingin menulis, ya tulis saja, tak usah
berfikir ini bagus atau jelek, yang penting kan bukan bagus atau jelek hasilnya
tapi prosesnya,” suara itu tak mau kalah
Ya sudah… aku jadi malas. Ku langkahkan kaki ku menuju
sebuah kamar di sudut belakang rumah yang kami namakan kamar kecil. Kamar yang
memang kecil dalam hal ukurannya dibandingkan dengan kamar-kamar lain di rumah
kami. Itu alasannya mungkin ruangan tersebut dinamakan kamar kecil guna
melakukan hal-hal kecil. Tapi apa iya?
Kalau menurut ku sih engga seperti itu. hal-hal yang kita
lakukan di kamar kecil itu bukanlah hal-hal kecil. Mungkin tampak sepele tapi
kalau dipikir-pikir tidak juga. Coba saja bayangkan bila kita tidak bisa
melakukan hal-hal yang kita lakukan di kamar kecil itu, pasti petaka bagi kita
setidaknya kita pasti akan segera menemui seorang dokter.
Kita memang hendaknya tidak memandang remeh akan hal-hal
yang kita lakukan di kamar kecil itu, kita justru harus bersyukur karena kita
masih bisa menunaikan kewajiban kita untuk membersihkan tubuh kita dari zat-zat
yang memang sudah tidak diperlukan lagi oleh tubuh kita.
Ku basuh muka ku dengan air yang tersedia di dalam sebuah
kolam di salah satu sudut kamar kecil itu. segarnya air membuat wajah ku pun
terasa segar. Aku menikmati momen seperti itu. Aku merasa segar kembali.
---
“mana? Kok tidak diteruskan juga?,” suara itu kembali ketika
baru saja ku rapatkan jari jemari ku ke tuts keyboard pc ku.
“lha ini juga sedang ingin ku mulai,” sahut ku sendiri.
“ya, baguslah kalau begitu, lanjutkan saja tanpa merasa
terganggu oleh suara-suara ku,” suara itu melanjutkan untuk kemudian sepi.
“ah, sudah lah jangan berisik, aku bisa gila jadinya,
menyingkirlah dan biarkan aku sibuk dengan rangkaian kata-kata yang masih dalam
angan-angan demi merajutnya menjadi sebuah cerita yang bisa dimengerti,” timpal
ku
Aku membiarkan jari jemariku menari-nari di atas tuts
keyboard yang beberapa hurufnya sudah mulai tak nampak namun itu tidak menjadi
kendala. Sudah lama tuts keyboard itu menjadi bagian dari hari-hari ku, jadi
aku tak kesulitan merangkai kata, sepertinya jari jemari ku mengenal satu per
satu tuts dengan baik.
Kalimat demi kalimat berusaha ku rangkai demi menjadi sebuah
cerita untuk hari ini setidaknya aku mesti menuliskan sesuatu untuk ku posting
di blog ku. Beberapa saat kemudian aku mencoba membaca ulang kalimat-kalimat
yang telah ku tuliskan tapi….Oh Tuhan, kalimat-kalimat apa ini?
Ku lihat bukan rangkaian kalimat indah yang ku hasilkan hari
ini, tapi lebih kepada kalimat-kalimat yang sungguh buruk menurutku. Makian,
cacian, hinaan ah, kalimat apa itu semua? Dari mana semua kalimat itu berasal?
Aku tidak merasa menuliskannya. Tapi… kalau bukan aku, lalu
siapa?
Aku jadi heran sendiri.
Ku tutup wajah ku rapat-rapat dengan kedua belah telapak
tangan ku yang agak gemetar mengingat kalimat-kalimat di hadapan ku.
“Jangan mencari kambing hitam,” suara yang beberapa saat
tidak ada kini terdengar kembali
Lama aku tidak menimpalinya. Masih ku tutup rapat-rapat
wajah ku.
“Aku tau kau berusaha mencari-cari penyebab kalimat-kalimat
itu muncul, bila ditelusuri lebih lanjut tentu saja itu adalah kalimat-kalimat
yang kau rangkai,” suara itu masih ada
Aku geleng-geleng kepala karena aku tidak berniat dan tidak
ingin merangkai kalimat-kalimat buruk seperti itu, tujuan ku adalah membuat
cerita yang indah dan bisa dimengerti dengan mudah bukannya kalimat-kalimat
makian dan hinaan seperti yang ada di hadapan ku.
“itulah yang ada dalam pikiran mu, alam bawah sadar mu. Karenanya
itu lah yang muncul dan dituliskan oleh jari jemari mu. Alam bawah sadar mu,
pikiran mu penuh dengan kalimat-kalimat itu semua. Jangan berkelit, terima saja
bahwa memang itu lah yang kau miliki untuk saat ini,” suara itu melanjutkan
tanpa terdengar menghakimi ataupun menggurui.
Aku masih terdiam merenungi kata-kata suara itu.
“itu semua sampah-sampah yang memang harus kau keluarkan,
itu semua tidak berguna dan membebani jiwa mu. Tak ada salah nya memang
membuang sampah-sampah pikiran, buat apa menyimpannya, hanya mengotori jiwa mu
saja jadinya, lanjutkan lah menulis dan tak usah memikirkan hasilnya. Seperti yang
ku bilang yang penting adalah prosesnya tak kau tak perlu terkejut akan hasil
yang kau tuliskan, terima saja dan selesai sudah,” suara itu masih terus
berlanjut
Ah, aku pusing jadinya…. Ku tunggu-tunggu suara itu tak
terdengar kembali. Ku putuskan untuk membuat secangkir kopi susu di dapur saja.
Aku ngeloyor ke dapur masih terus bertanya-tanya bagaimana jari jemari ku merangkai
kalimat-kalimat tadi.
----
Pagi itu, ada rasa lega, ceria dan lepas begitu saja. Aku tak
tahu apa penyebabnya padahal tak ada kejadian yang aneh atau pun menakjubkan
hari itu. biasa-biasa saja. Ah….
Aku bahagia, terucap dalam hati
Bahagia karena apa, ga tau juga tapi aku bahagia titik tak
ada alasannya untuk itu.
Beberapa saat kemudian aku berpikir, apa karena kejadian
kemarin itu yang membuat aku bahagia seperti ini. Sampah-sampah pikiran ku
sudah ku tuang kan dalam tulisan atau singkatnya aku sudah buang sampah-sampah
pikiran yang membebani ku selama ini. Seperti yang dijelaskan oleh suara itu.
“Tapi… jangan lupa seperti halnya halaman di depan rumah mu
yang harus senantiasa kau sapu, kau bersihkan, demikian juga dengan pikiran,
jiwa mu,” suara itu kembali mengingatkan
Aku mulai bisa menerima suara itu, bahwasanya pikiran ku
penuh dengan sampah-sampah yang mesti dibersihkan. Maka, ku putuskan untuk
memposting hasil yang ku tuliskan kemarin ke dalam blog ku.
“Dan tetaplah menulis, kau perlu itu,” suara itu sekali lagi
mengingatkan untuk akhirnya kembali hening.