Sebuah cincin emas ada dalam
genggaman Mitra. Ia menggenggam benda itu erat-erat. Sudah sekian lama ia
memiliki cincin itu yang ternyata adalah pemberian ibunya menjelang
kepergiannya ke alam “sana”.
Mentari siang itu bersinar dengan
teriknya padahal sudah masuk bulan Oktober akhir yang seharusnya sudah memasuki
musim penghujan. Akhir-akhir ini memang
cuaca tidak bisa diperkirakan sepertinya bumi memang sudah sangat tua sehingga
perubahan musim yang biasanya teratur kini tidak lagi.
Apakah karena bumi sudah pikun? Sehingga
lupa kapan musim penghujan dan kapan musim kemarau he he he… tapi bukan itu
alasannya yang tepat.
Perubahan iklim yang kian hari
kian berubah cepat itu dikarenakan adanya global warming atau pemanasan global.
Meningkatnya suhu bumi menimbulkan banyak masalah dan kita sudah mengetahui
bahkan merasakannya tiap hari di belahan bumi manapun. Yah, tak menentunya
musim juga salah satu hal yang disebabkan karena global warming ini.
Di bawah teriknya mentari siang
itu, Mitra berdiri di sisi jalan menunggu angkot untuk ia tumpangi menuju suatu
tempat. Hatinya tak menentu. Kiranya tak ada jalan lain untuk membayar uang
ujian semesternya kecuali menjual cincin emas miliknya satu-satunya itu.
Agak lama ia menunggu di sisi
jalan tersebut, maklum siang hari agak jarang angkot yang beroperasi tidak
seperti kala pagi hari dan sore. Dengan cemas ia masih menunggu di sisi jalan
dengan kepala ia tutup menggunakan sapu tangan guna mengurangi teriknya mentari
menghujam kepalanya.
Tunggu punya tunggu akhirnya
lewat juga angkot yang dinanti-nanti. Dengan sigap ia memberikan tanda agar
angkot tersebut berhenti untuk kemudian ia naik ke dalamnya. Tak banyak
penumpang saat itu, hanya ada 4 orang, seorang lelaki setengah baya duduk di
samping pak sopir dan seorang pelajar es em pe yang tampaknya ingin berangkat
ke sekolah dan seorang wanita se usia dirinya.
Ia langsung duduk di salah satu
sisi bangku yang tersedia. Mentari masih bersinar tanpa mengurangi teriknya. Disapu
peluhnya yang mulai mengalir di dahinya dengan sapu tangannya.
“hmmm… panasnya siang ini,”
gumamnya dalam hati
Dalam kegelisahannya, ia
memutuskan untuk sejenak memejamkan mata sambil mengatur nafasnya. Ia menarik
nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Ia mengembungkan perutnya
tiap kali ia menarik nafas dan mengempiskan perutnya kembali ketika
menghembuskannya. Proses pernafasan seperti ini disebut pernafasan perut dan
sangat baik untuk kesehatan bukan hanya kesehatan raga tetapi jiwa pun
tersentuh pula.
Dengan pernafasan yang teratur
maka pikiran menjadi jernih sehingga dapat mengambil keputusan dengan tepat. Ia masih memejamkan matanya sambil
mengatur nafasnya.
“Geser mba, geser!,” suara sang
sopir membuatnya sadar bahwa ia masih berada dalam angkot.
Ternyata ada penumpang yang
hendak naik. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan menggeser letak duduknya. Dua
orang wanita masuk dan duduk di sebelahnya. Ia tak memperhatikan ke duanya.
“Mitra?,” salah seorang wanita
itu bertanya sambil memperhatikan wajahnya.
Mitra yang hampir memejamkan
matanya kembali segera menoleh ke arah wanita tersebut. Nampak seorang wanita
anggun nan ayu dengan balutan kemeja batik bermotif bunga-bunga kecil berwarna
biru duduk di sampingnya. Ia sepertinya mengenali wajah wanita itu, tapi…. Ia lupa
namanya.
Tak mendapatkan jawaban apapun
dari bibir Mitra, wanita itupun bertanya lagi
“kamu Mitra kan?”
“Betul, tante,” jawab Mitra
sambil dengan mimik wajahnya yang agak bingung kenapa ada yang mengenalinya di
kota Jakarta ini. Setahu dia, tak ada kerabatnya yang tinggal di Jakarta. Semua
kerabatnya baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya tinggal di Jawa Tengah,
Jawa Timur bahkan ada yang tinggal di Bali. Dan di Jakarta ini, ia tinggal
sendiri kost di dekat kampusnya.
Kepergiannya ke Jakarta memang
demi mengejar cita-citanya meraih gelar sarjana pendidikan di salah satu
universitas di Jakarta tepatnya di bilangan Jakarta Timur. Awalnya sang ayah
tak mengijinkannya namun ia bersikeras bahwa ia ke Jakarta demi pendidikan
bukan yang lain dan alasan itulah yang meluluhkan hati ayahnya sehingga
merelakan anak perempuan satu-satunya itu merantau ke Jakarta sendirian.
“Apakah kau tidak mengenali aku,”
tanya sang wanita sambil tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya ke arah
Mitra.
“Tante Vidya?” sorak Mitra demi
melihat gingsul wanita itu
Penumpang yang lain menengok ke
arah mereka berdua.
Betapa senangnya hati Mitra siang
itu bertemu dengan salah satu adik perempuan ayahnya.
Ternyata wanita yang bernama
Vidya itu sejak beberapa bulan terakhir menetap di Jakarta timur juga tak jauh
dari kampus Mitra yang terkenal sebagai salah satu kampus pencetak generasi
pengajar di Indonesia.
Ia menetap di Jakarta karena
mendapatkan tugas dari kantornya ia bekerja. Ia harus memimpin kantor yang
merupakan kantor cabang perusahaan yang berpusat di Jawa Timur.
***
“Sudah lama aku mencari-cari
kamu,” kata wanita muda itu ketika mereka akhirnya tiba di tempat kost Mitra.
“Ayah mu titip pesan kepada ku
agar aku menjaga mu dan membantu bila mana kamu dalam kesulitan,” sambung
wanita itu.
Wah… bak mendapatkan durian
runtuh, Mitra akhirnya mengutarakan masalah yang tengah ia hadapinya. Ia segera
menelpon ayahnya demi memberikan kabar bahwa ia telah bersama adiknya kini.
Sejak hari itu, Mitra tinggal
bersama wanita yang ia panggil sebagai tante Vidya.
Malam itu Mitra bisa tidur dengan
nyenyak dengan cincin peninggalan sang ibu yang melingkar di jari manisnya.
Image: Googel search