“cius? Mi apah?”
“ih…. Geli deh ndenger kamu ngomong kayak gitu, kamu tuh ga
pantes tau? Ngomong kayak a be ge kek gitu,” cibir ku pada perempuan bernama
Kusuma
“kenapa ga pantes?”
“kamu kan budhe ku, ya… jadi ga pantes aja kedengarannya,”
sahut ku tak kurang ketusnya
Dari arah dapur, ibu ku segera menghampiri kami yang sedari
tadi berada di ruang makan menghabiskan sarapan pagi kami sebelum akhirnya
berangkat ke sekolah kami masing-masing.
“wah wah wah… pagi-pagi kok sudah bertengkar sih,” suara ibu
ku membuat aku tak suka, pasti ia akan membela si Kusuma itu dan aku tak suka.
“Ga bertengkar kok budhe, kami Cuma bincang-bincang ringan
di pagi hari sambil sedikit tarik urat, he he he,” jawab Kusuma sambil
senyum-senyum ke arah ku, bikin aku tambah jengkel padanya
Huh….
Aku sih ga mau panjang lebar lagi kala itu, aku ga mau hari
ku jadi rusak gara-gara dia itu.
Setelah selesai sarapan, aku pun segera merapikan diri dan
akhirnya aku berangkat ke sekolah setelah sebelumnya berpamitan dengan ibu ku.
---
“woi… buruan dong, aku kan udah hampir telat nih,”
“tunggu ya sayangku….. hi hi hi,” dari balik pintu kamar
mandi Kusuma menjawab
“siapa suruh kamu bangun terlambat, kan aku yang lebih dulu
bangun, jadi aku yang berhak pakai kamar mandi ini lebih dahulu,” lanjut Kusuma
tambah bikin aku jadi ga sreg padanya
Untung saja di rumah kami ada tiga kamar mandi; kamar mandi
di ruang tidur orang tua ku, kamar mandi untuk si mba (aku menyebutnya untuk
pengganti sebutan pembantu di rumah kami) dan kamar mandi di dekat ruang keluarga
yang sering aku pakai. Tadi nya sebelum Kusuma datang dan tinggal bersama kami,
kamar mandi itu adalah kamar mandi pribadi ku. Di sana aku betah berlama-lama
menikmati lembutnya pijatan mahluk halus ciptaanNya via shower yang tergantung
di salah satu dinding kamar mandi ku itu.
Tapi, sejak Kusuma datang, aku harus rela untuk berbagi
kamar mandi itu padanya. Dan itu sering bikin aku jengkel padanya.
Mendengar jawabannya tadi, akhirnya aku ngeloyor saja ke
tempat si mba ku
“Mba Siti, aku pinjam kamar mandinya yah, itu tuh kamar mandi
aku dikuasai si Kusuma ndeso,” ijin ku pada si mba Siti yang sudah lama menjadi
pembantu di rumah kami. Ia sebenarnya tak jauh beda usianya dengan ku, tapi dia
itu benar-benar hebat dalam pandangan ku karena ia berani merantau demi
menghidupi orang tuanya di kampung halamannya.
“Monggo, pakai saja, mas,” jawabnya penuh santun
Langsung saja aku ngacir ke dalam kamar mandi si mba ku itu,
aku tak mau telat ke sekolah gara-gara ulah si Kusuma.
----
“Kamu tuh kenapa sih selalu bikin aku jengkel?”
Kali ini aku dibuat jengkel oleh budhe ku si Kusuma itu
lagi. Kok hampir tiap hari kerjanya bikin aku jengkel ya?
“bukan salah ku kalau kamu jengkel, itu kan masalah mu
sendiri,” elaknya tanpa merasa bersalah sedikit pun.
“lho, kok kamu bisa-bisanya bicara seperti itu, ini
jelas-jelas karena kamu tau,” jelasku agak kesal
“sejak dulu aku ga ada yang ganggu, aku selalu sendiri. Dan sejak
ada kamu di rumah kami ini, aku jadi sering dongkol oleh ulah mu,” aku
menjelaskan lebih jauh
Aku adalah anak tunggal orang tua ku, sebetulnya sih aku
punya adik perempuan tapi adik perempuan ku itu meninggal tatkala ia masih
bayi. Seingat ku awalnya ia menderita demam yang tinggi sekali yang
mengakibatkan ia koma beberapa hari hingga akhirnya ia tak bisa bertahan lagi. Waktu
itu aku sedih sekali tapi tak tahu harus apa. Sejak saat itu aku diasuh penuh
kasih sayang oleh kedua orang tua ku. Mereka sangat menyayangi ku dan aku
sangat menikmati hal itu.
Hingga akhirnya, si Kusuma itu muncul beberapa bulan yang
lalu. Sejak saat itu aku harus selalu berbagi padanya. Di mata ku kedua
orang-tua ku lebih sayang padanya dan aku merasa diabaikan. Mungkin karena ia
perempuan, jadi ke dua orang-tua ku merasa ia adalah pengganti adik ku yang
telah tiada.
Tapi aku ga terima itu, si Kusuma itu bukan adik ku, ia itu
hanyalah budhe ku.
“kamu kan budhe ku, seharusnya kamu lebih mengalah pada ku,
ga bikin aku jengkel tiap hari dong,” protesku padanya
.
----
“Bu, kemana budhe Kusuma? Kok dari pagi aku ga liat dia,”
Sedari pagi aku memang tidak melihat budhe ku itu, biasanya
ia bangun lebih awal dari ku kemudian menguasai kamar mandi ku. Tapi hari itu
tidak ku lihat sosoknya, mungkin ia sakit pikirku karena belakangan ia sering
sakit.
Namun walau pun sakit, siang hari sepulang aku sekolah pasti
aku menemuinya sedang duduk-duduk di kursi samping sambil membaca buku-buku
komik kesukaannya tapi hari itu tidak ku temui dia di setiap sudut rumah kami.
Itulah yang bikin aku penasaran dan bertanya pada ibu ku
akhirnya.
Ibu ku yang ku lihat sedang merapikan mukena, nampaknya
beliau baru saja menyelesaikan sholat. Tapi… aku kok tambah bingung ya soalnya
ga biasa-biasanya ia sholat di jam seperti ini yang ku tau ia selalu sholat
tepat waktu.
Dengan mata yang berkaca-kaca, ia menjawab bahwasanya Kusuma
sudah pulang ke kampung halamannya di Jogja sana. Ia memang hanya tinggal di
rumah kita 5 bulan saja itu dikarenakan ia ingin menghirup udara ibu kota
sebelum ia meninggal. Ia menderita kanker darah dan divonis oleh tim dokter
bahwa usianya hanya tinggal 6 bulan saja. Ia kini tengah berjuang menghadapi
kematiannya, ia tengah di rawat di rumah sakit di jogja. Oleh karena itu ibu
sholat untuk mendoakannya agar ia diberi kekuatan untuk itu.
Bak halilintar menyambar telinga ku, aku tak percaya.
Tak terasa mata ku pun mulai berkaca-kaca, kurasakan
pandangan ku kabur. Apa yang harus ku lakukan untuk menebus dosa-dosa ku
padanya karena tidak bersikap baik padanya. Ah… aku sangat menyesal tak baik
padanya.
Ingin rasanya aku terbang ke Jogja dan menyatakan segala
permohonan maaf ku padanya, tapi itu tak mungkin karena tak lama aku harus
mengikuti ujian akhir di sekolah ku. Ah…. Tuhan…. Maafkan aku….
----
“cius…? Mi apah?”
“Ah kamu kok masih bisa ngeledek aku sih, aku benar-benar
menyesal dan minta maaf atas segala sikap tak baik ku pada mu,”
Malam itu ku putuskan untuk menelpon ke nomor telpon selulernya.
Aku harus minta maaf padanya sebelum ia meninggalkan kami semua. Sejak dirawat di rumah sakit, ia tetap membawa
telpon selulernya dan bila mana masih sanggup menjawab panggilan dari hp nya itu,
maka ia pun menjawabnya dengan sopan.
“nda apa-apa, aku sih ga pernah sakit hati atas segala sikap
mu itu, kamu kan keponakan ku, mana mungkin aku marah, ya toh?” jawabnya dengan
nada yang tetap sama sewaktu ia tinggal di rumah ku.
Ku rasakan ia tengah berjuang menahan rasa sakit yang
disebabkan penyakitnya itu, ah… tak kuasa aku berlama-lama berbicara padanya. Tak
kuat rasanya aku menahan rasa sedih akan ditinggalkannya. Memang salah ku tak
bersikap baik padanya saat ia masih berada bersama, tapi…. Nasi sudah menjadi
bubur
Biarlah aku tebus rasa sesal ku dengan berupaya bersikap baik pada
setiap perempuan yang hadir dalam hidupku.
Air mata ku tak tertahan kan, satu persatu buliran itu jatuh
dari kedua pipi ku…..
----
Dua minggu sejak kematiannya aku akhirnya
menemuinya. Ku berlutut di hadapan batu nisannya. Maafkan aku Kusuma, ku doa kan kau bahagia di sana bersamaNYA….
Image: Google search