Bidikan utama
Majalah TIRO
Edisi Oktober 2011
Sidang atas nama terdakwa Anand Krishna yang sudah
berlangsung setahun lebih akhirnya akan sampai pada agenda pembelaan dari Tim
Penasehat Hukum Anand Krishna. Apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini? Berikut
petikan wawancara Matroji Dian Swara
dengan KetuaTim Kuasa Hukum Anand Krishna, Humphrey
R. Djemat.
Sidang terhadap klien
Anda sudah setahun lebih berlangsung, apa komentar Anda?
Iya, memang benar itu, ini
semua terjadi karena adanya konspirasi antara saksi korban Shinta Kencana Kheng
dengan mantan ketua majelis hakim Hari Sasangka yang akhirnya terbongkar dan
digantikan dengan Ibu Albertina Ho sebagai ketua majelis hakim dalam perkara
ini. Secara otomatis, beberapa saksi yang telah dihadirkan dalam sidang
sebelumnya kembali dimintai keterangannya kembali oleh majelis hakim yang baru.
Sebentar lagi agenda sidang
memasuki tahap pembelaan, apa yang akan Anda lakukan?
Sebagai tim penasehat hukum tentunya akan menyampaikan nota
pembelaan terhadap klien kami Anand Krishna. Dalam nota pembelaan nanti, kami akan melakukan pembelaan yang maksimal
terhadap pak Anand Krishna, karena persidangan ini penuh dengan
kejanggalan-kejanggalan dan adanya rekayasa kasus untuk menjatuhkan nama baik
pak Anand Krishna sebagai tokoh pluralism di Indonesia.
Kalau boleh tahu,
pokok-pokok apa saja yang akan Anda sampaikan pada pembelaan nanti?
Adapun pokok-pokok yang akan kami bahas dalam Nota Pembelaan
terhadap klien kami antara lain tidak
adanya saksi-saksi yang mendengar dan melihat kejadian yang dilaporkan oleh
Tara Pradipta Laksmi selaku saksi pelapor yang mengaku telah dilecehkan oleh
Anand Krishna pada tahun 2009. Tak hanya itu saja, setelah pemeriksaan dilakukan terhadap saksi-saksi, kami menilai bahwa
saksi-saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum tidak melihat dan mendengar
langsung kejadian yang dialami oleh Tara Pradipta Laksmi, padahal dalam
dakwaan penuntut umum, sangat jelas diuraikan adanya pelecehan yang dilakukan
oleh pak Anand Krishna terhadap Tara Pradipta Laksmi dan berdasarkan keterangan
Tara Pradipta Laksmi di depan persidangan bahwa dia telah dilecehkan. Hal inilah yang disebut sebagai unus testis
nullus testis atau satu saksi bukanlah saksi.
Terhadap saksi korban
lainnya bagaimana?
Dalam surat dakwaan penuntut umum dinyatakan bahwa Anand
Krishna selain melakukan pelecehan terhadap Tara Pradipta Laksmi, juga
melakukannya terhadap Sumidah, Shinta Kencana Kheng, Dian Mayasari, dan
Farahdiba Agustin. Namun setelah
dilakukannya pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan,
terungkap fakta bahwa tidak ada satupun saksi-saksi yang menyatakan pernah
mendengar dan melihat kejadian yang dimaksud. Saksi-saksi yang mengaku mendapat pelecehan seksual oleh klien kami
ternyata bohong.
Selanjutnya bagaimana?
Oleh karena itu, terhadap dakwaan ke satu, kami akan melakukan bantahan terhadap
adanya perbuatan cabul yang dilakukan terhadap saksi-saksi dengan tidak adanya
saksi-saksi yang melihat dan mendengar langsung perbuatan tindak pidana
tersebut. Adapun keterangan para saksi hanya berdiri sendiri yang mana
disebut unus testis nullus testis atau satu saksi bukanlah saksi. Selain itu, dalam
pasal 290 ayat (1) KUHP juga disebutkan bahwa orang tersebut dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya, namun dalam faktanya saksi-saksi yang mengaku sebagai
korban dengan jelas mengakui bahwa mereka tidak dalam keadaan pingsan dan dalam
keadaan berdaya.
Santer diberitakan
bahwa saksi-saksi mendapat pelecehan selama berbulan-bulan apa itu benar?
Ini yang saya heran dan tidak
masuk akal, bagaimana mungkin seorang korban pelecehan mau dilecehkan lagi
sampai dengan berkali-kali, itu bukan merupakan pelecehan, kalau memang
benar terjadi pelecehan, kenapa korban tersebut tidak langsung melaporkan saja
ke pihak kepolisian.
Menurut saksi, mereka
tidak berani lapor polisi karena mereka menganggap klien Anda sebagai guru yang
harus dihormati?
Pertanyaan saudara persis seperti dakwaan kedua JPU dalam
pasal 294 ayat (2) angka 2 KUHP terdapat unsur guru. Berdasarkan keterangan
saksi-saksi di depan persidangan, saksi-saksi korban sendiri pun mengaku mereka
memanggil Anand Krishna dengan sebutan Pak atau Bapak. Anand Krishna sendiri tidak pernah meminta maupun menganggap dirinya
sebagai seorang guru. Adapun undang-undang dan peraturan tentang Guru itu
jelas, merupakan seorang pegawai yang ditunjuk oleh Negara untuk melakukan
proses belajar mengajar berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan dalam bukunya yang berjudul “Kehidupan”
dan sudah dicetak ulang beberapa kali oleh Gramedia, Anand Krishna jelas-jelas mengatakan bahwa dirinya bukan seorang Guru,
dan setiap orang mesti memberdayakan dirinya, bukan tergantung pada seorang
Guru.
Pada dakwaan kedua juga dijelaskan kaitkannya dengan tempat
pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa
atau lembaga sosial, dimana dalam Surat Dakwaan dijelaskan bahwa yang menjadi
objek adalah di L’ayurveda yang terletak di Ruko Golden Fatmawati. Perlu dijelaskan
bahwa L’ayurveda bukanlah merupakan suatu tempat sebagaimana dimaksud dalam pasal
294 ayat (2) angka 2 KUHP, melainkan merupakan tempat terapi kesehatan holistic
yang berbentuk perseroan terbatas.
Surat dakwaan juga
menyebut Pak Anand sebagai pemilik L’ayurveda, yang sudah terbukti tidak benar.
Usaha itu dimiliki oleh beberapa orang, yang diantaranya 2 orang telah menjadi
saksi dan membenarkan bahwa Pak Anand bukan pemilik, bukan pemegang saham, dan
sejak awal berdirinya perusahaan itu, Pak Anand memang tidak pernah menjadi
bagian dari perusahaan itu.
Jadi, sebetulnya banyak unsur dalam dakwaan itu yang jelas
tidak terpenuhi.
Mengenai Pasal 64 ayat
1 KUHP yang juga dikenakan kepada klien Anda itu bagaimana?
Pasal 64 ayat 1 KUHP itu merupakan suatu bentuk tindak
pidana beberapa perbuatan yang ada
hubungannya sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut. Menurut keterangan
saksi ahli dipersidangan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum.
menyatakan bahwa Pasal 64 KUHP harus memenuhi unsur adanya suatu rangkaian
perbuatan dalam kurun waktu tertentu dan adanya satu kehendak yang sama,
sehingga apabila dikaitkan dengan Surat Dakwaan Penuntut Umum maka seharusnya
Dakwaan Kesatu maupun Dakwaan Kedua tidak terbukti dan cukup berdasar dan
beralasan untuk membebaskan Anand Krishna dari Dakwaan.
Selain itu apalagi?
Selain bantahan-bantahan terhadap surat dakwaan, dalam pembelaan
kami juga menjelaskan kaitannya dengan keterangan para saksi yang dihadirkan
oleh penuntut umum tidak konsisten dari sejak pemeriksaan di Kepolisian,
persidangan yang dipimpin oleh Hari Sasangka sampai dengan persidangan yang
dipimpin oleh ketua majelis Albertina Ho, kemudian kami juga akan menjelaskan dengan adanya barang bukti yang baru dihadirkan
oleh penuntut umum padahal barang bukti itu tidak pernah diperlihatkan kepada
Anand Krishna juga saat pemeriksaan di Kepolisian.
Kami juga akan
menjelaskan kaitannya adanya dugaan rekayasa terhadap perkara ini. Hal ini
dapat dilihat dari adanya pertemuan-pertemuan antara saksi-saksi yang dimotori
oleh Muhammad Djumaat Abrory Djabbar sebelum Tara Pradipta Laksmi melaporkan
kasus ini ke Kepolisian, dan dugaan tersebut semakin jelas setelah adanya
pengakuan beberapa saksi korban yang mengakui adanya pertemuan di rumah Muhammad
Djumaat Abrory Djabbar disertai dengan inisiatif dari Muhammad Djumaat Abrory
Djabbar untuk melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian setelah melakukan
roadshow ke berbagai kota dan di berbagai media yang menyatakan bahwa Anand
Krishna telah melakukan pelecehan seksual terhadap Tara Pradipta Laksmi dan
beberapa orang lainnya.
Bahkan, dari keterangan para saksi terlihat jelas bahwa Muhammad Djumaat Abrory Djabbar juga yang
merencanakan siapa yang mesti menjadi saksi pelapor, dan siapa yang menjadi
saksi saja.
Muhammad Djumaat
Abrory Djabbar juga, aneh sekali, menggunakan 2 kartu tanda pengenal dengan
alamat dan bahkan tanggal lahir yang beda dan hal ini sudah kami tunjukkan
kepada Majelis Hakim.
Apa harapan Anda?
Dengan dukungan moril
dari berbagai pihak, termasuk puluhan lembaga-lembaga yang pernah menggelar
aksi damai dan bahkan seminar di Jawa dan Bali, dengan melibatkan ribuan
peserta, dan dengan majelis hakim yang diketuai oleh Albertina Ho, kami
berharap agar pak Anand Krishna dapat mendapatkan putusan bebas dengan melihat
fakta-fakta yang terungkap di persidangan karena jelas kasus ini merupakan
rekayasa sejumlah pihak untuk menjatuhkan nama baik klien kami.