Suara Pembaruan
Edisi Rabu 12 Oktober 2011
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang kasus dugaan pelecehan seksual di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, selama hampir satu tahun, ternyata tak membuat tokoh spiritualis lintas agama, Anand Krishna patah arang. Semangatnya dalam memberi motivasi hidup dan penyembuhan lewat terapi holistik tetap dilakoninya di sela-sela jadwal persidangan yang harus ia ikuti.
Warga Negara Indonesia keturunan India ini yakin dirinya tak bersalah atas laporan mantan muridnya, Tara Pradipta Laksmi. Tara mengaku telah dilecehkan oleh Anand di tempat terapi holistik L’ayurveda milik Anand di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan pada tahun 2009.
Meski demikian, beberapa waktu lalu, selama mengikuti proses persidangan kesehatan Anand sempat drop. Anand jatuh sakit setelah melakukan mogok makan selama 49 hari. Aksi mogok itu sebagai bentuk protes atas putusan majelis hakim yang saat itu diketuai Hari Sasangka, yang menjebloskannya ke penjara.
“ Jika masalah ini sudah selesai, saya akan pergi ke Himalaya untuk menyendiri dan menyembuhkan diri saya. Saya butuh menenangkan diri,” imbuhnya.
Selama menjalani dakwaan tersebut, guru meditasi dan Yoga ini tetap produktif menulis puluhan judul buku yang beberapa di antaranya membahas masalah kesehatan holistik. Sejak tahun 1997 hingga saat ini sedikitnya 140 judul buku telah ia tulis dan dipublikasikan secara nasional maupun internasional.
Sementara itu, atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Martha Berliana Tobing, SH yang menjerat Anand dengan pasal 290 dan 294 KUHP Jo pasal 64 KUHP, tentang pelecehan seksual. Tim kuasa hukum Anand menilai dakwaan pengenaan pasal yang diajukan JPU dengan bukti yang diajukan pelapor secara materi tidak relevan.
“Adanya visum pelapor (Tara) tanggal 3 Maret 2010, pukul 15.40 dari RSCM yang menyatakan bahwa pelapor tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual dan persetubuhan. Bahkan selaput dara masih utuh. Visum ini ditandatangani oleh dr. Abd. Mun’im Idris, SPA,” kata salah seorang kuasa hukum Anand, Dwi Ria Latifa, SH.
Saksi Ahli
Ria Latifa menjelaskan, pasal 64 yang digunakan JPU dalam menjerat Anand merupakan pasal perbuatan berlanjut pada satu subjek peristiwa (voortgezette handeling). Sedangkan saksi-saksi baik yang dihadirkan ke persidangan maupun yang bersaksi di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian, tidak satupun memberikan kesaksian melihat terjadinya dugaan tindak pidana pelecehan seksual terhadap Tara oleh Anand, baik secara satu kejadian, maupun dalam kejadian yang berlanjut.
“JPU malah menghadirkan saksi-saksi lain yang merasa pernah dilecehkan oleh terdakwa, tapi pada peristiwa lain yang berdiri sendiri dan bukan terhadap pelapor, itukan pasal 65 namanya bukan pasal 64. Sedangkan kejadian-kejadian yang berdiri sendiri itu tidak pernah dilaporkan, dan tidak ada bukti atau seorang saksi pun yang dapat mendukung kesaksian para saksi ini,” urainya.
Dikatakannya, kredibilitas saksi ahli yang ditampilkan JPU ke persidangan juga dipertanyakan. Sebab tiga saksi ahli yang diajukan selalu memberi keterangan yang berbeda antara di dalam BAP dengan yang dikemukakan di dalam ruang persidangan.
Ketua Komite Advokasi Anand Krishna, Helmi, SH menegaskan, Anand tidak berada di tempat dan waktu kejadian seperti yang disebutkan Tara. Dalam persidangan Tara menyatakan bahwa dugaan pelecehan seksual terjadi pada tanggal 21 Maret 2009 di Ciawi. Faktanya pada tanggal yang sama, Anand tengah berada di acara open house di Sunter dimana ada lebih dari 80 orang hadir yang dapat memberikan alibi.
“Ada buku tamu yang membuktikan adanya acara open house saat itu, dan banyak saksi yang melihat Anand berada di acara itu. Bagaimana caranya Anand bisa berada di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan?” tegasnya.
Sementara itu, putera Anand, Prashat Gangtani juga mengaku kecewa atas sikap JPU terhadap ayahnya. Terlebih saat ayahnya melangsungkan mogok makan dan dirawat di RS Polri pada 9 Maret 2011 – 27 April 2011, JPU memerintahkan pencabutan selang infuse dan memaksa membawa ayahnya ke Rutan Cipinang.
“Akibatnya, tidak sampai 48 jam berikutnya, ayah saya mengalami serangan light stroke danhypoglychemie sehingga kembali harus dilarikan ke RS Polri dan mendapatkan perawatan medis intensif. Kadar gula darahnya yang menderita diabetes akut anjlok menjadi hanya 64.
Prashat mengungkapkan keputusan JPU yang memerintahkan pencabutan infuse dan membawa ayahnya yang sedang sakit kembali ke Rutan Cipinang melanggar International Standard Prosecution on Human Rights yang dapat diadukan ke International Criminal Court on Crimes Against Humanity.