Spesial Edition
Hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum
dikarenakan ulah aparat hukum itu sendiri.
Hakim Hari Sasangka adalah contoh buruk bagi penegakan supremasi hukum. Hari
Sasangka tertangkap “main mata” dengan saksi pelapor.
Belum tuntas kasus Hakim Syarifudin Umar, beberapa waktu
lalu gempar pemberitaan di media tentang hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Hari Sasangka tertangkap kamera “bermain” dengan saksi pelapor kasus
Anand Krishna dimana Hari merupakan ketua majelis hakim yang menyidangkan
perkara tersebut.
Sejak pertama kali kasus ini disidangkan oleh hakim. Hari dalam
memimpin jalannya persidangan pun terlihat tidak objektif dan cenderung
memvonis bahwa terdakwa Anand Krishna telah bersalah. Ini jelas terlihat saat persidangan
tanggal 9 Maret dimana ketua majelis hakim Hari Sasangka mengeluarkan penetapan
penahanan Anand Krishna. Padahal, proses persidangan masih berlangsung
pemeriksaan saksi-saksi dan masih jauh dari agenda putusan hakim. Semestinya,
sebagai penegak hukum Hari menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah sebelum
ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sikap Hari yang memihak saksi pelapor
dan langsung menyalahkan terdakwa inilah yang menimbulkan kecurigaan.
Sikap Hari inilah yang kemudian memicu timbulnya demo di
depan PN Jakarta Selatan yang menuntut agar hakim Hari Sasangka harus diganti. Setelah
Anand Krishna ditahan, simpatisan terdakwa pelecehan seksual itu melakukan
perlawanan. Sedikitnya, 150 simpatisan tokoh spiritual itu menggelar
demonstrasi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Mereka membentangkan spanduk
meminta agar Anand Krishna dibebaskan.
Selain itu, mereka menuntut agar ketua majelis hakim yang
menyidangkan kasus itu diganti. Prashant Gangtani, anak Anand Krishna saat
ditemui di PN Jakarta Selatan mengatakan kalau puluhan pendukung ayahnya itu
datang dari berbagai kota di tanah air. Dia juga mengatakan, protes itu
dilakukan lantaran majelis hakim telah sewenang-wenang menahan ayahnya. Padahal,
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan belum
mengajukan tuntutan atas kasus pelecehan seksual tersebut.
“Majelis hakim beralasan, khawatir ayah saya melakukan
perbuatan yang sama. Padahal tuduhan itu belum terbukti, jaksa saja belum
tuntut, bagaimana kalau jaksa tuntut bebas karena fakta dalam persidangan tidak
menunjukkan kejadian tersebut” tegasnya.
Selain itu, Prashant juga mengaku telah melayangkan surat ke
Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan agar hakim yang menangani kasus ayahnya tersebut untuk diganti karena
tidak objektif lagi dalam menangani dan memutuskan perkara.
Dalam aksi itu, para pendemo juga membagi-bagikan selebaran
bantahan tuduhan pelecehan seksual kepada Anand Krishna. Aksi demo itu sempat
menyita perhatian pengendara yang melintas di depan PN Jakarta Selatan Jalan
Raya Ampera, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Seperti diketahui, Anand diajukan ke meja hijau karena
didakwa melecehkan salah seorang yang mengaku muridnya, Tara Pradipta Laksmi. Dia
dijerat pasal 290 KUHP tentang Pelecehan Seksual dan sempat ditahan di Rumah
Tahanan (Rutan) Cipinang. Sebelumnya Anand dirawat di RS Fatmawati sejak 9 – 17
Maret 2011 lalu aksi mogok makan. Perawatannya kemudian dipindahkan ke RS
Polri. Anand yang memang menderita penyakit jantung, Diabetes, dan hipertensi,
makin melemah karena mogok makan yang dilakukannya sebagai bentuk protes atas
penetapan penahanannya. Akhirnya ketua majelis hakim mengabulkan penangguhan
penahanan yang diajukan oleh keluarga Anand.
Namun, pada tanggal 9 Maret 2011, Anand Krishna ditahan dan
sejak hari itu juga ia melakukan mogok makan sebagai protes terhadap keputusan
hakim Hari yang dianggapnya semena-mena, menggunakan wewenang tanpa mengindahkan
azas praduga tak bersalah, dan sudah tidak fair lagi dalam persidangan.
Sejak tanggal 9 sampai 16 Maret berada dalam tahanan di Rutan
Cipinang. Kemudian, saat dibawa ke pengadilan dalam keadaan lemah, ia collapse
di pengadilan. Dalam keadaan pingsan ia dibiarkan tergeletak di depan ruang sidang
selama lebih dari satu jam, sebelum hakim Hari Sasangka akhirnya mengijinkan
utnuk dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati.
Terdakwa diantar oleh JPU Martha, dan langsung dilarikan ke
ICU karena kondisi jantung yang lemah dan menjadi aritmis lagi. Malam itu kedua
tangannya diberi infus 4 macam untuk menstabilkan kondisinya.
Alhasil, pada tanggal 17 Maret, dalam kondisi masih diinfus,
lalu dipindahkan ke RS Polri dimana dirawat juga di High Care Unit.
Sehingga pada tanggal 30 Maret, Anand Krishna tetap mogok makan,
dalam keadaan sangat lemah, bahkan semakin lemah setiap hari, dan dengan
sejarah berbagai komplikasi kesehatan -
atas perintah hakim dan jaksa, infusnya dicopot dan ia dikembalikan ke rutan.
Ironisnya, kondisi ini sangat tidak masuk akal bagi keluarga
Anand, dokter pribadinya, dr. Sayoga, dr. Arya dan anggota Komunitas Pencinta
Anand Ashram. Sebagaimana dijelaskan oleh seorang juru bicara KPAA, Johanes
Budiman, “Kami tahu sendiri bagaiman kekhawatiran tim dokter Polri, yang sudah
tidak tahu bagaimana menangani Pak Anand, karena tidak memiliki preseden mogok
makan selama 49 hari. Melihat daya tahan tubuh Pak Anand, mereka khawatir bila
ada virus-virus yang menyerangnya dan bisa fatal. Koe bisa dalam keadaan
seperti itu infusnya dicopot dan dia dikembalikan ke rutan? Terbukti tindakan
hakim dan jaksa itu sangat membahayakan dan seolah bermain-main dengan nyawa
seorang, karena tidak sampai 2 hari lagi, ia drop dan dalam keadaan parah
dikembalikan ke rumah sakit Polri lagi,” ungkapnya.
Menurut Sacha Stone, Direktur Humanited, salah satu lembaga
Internasional yang bernaung di bawah PBB, “tindakan itu sangat tidak manusiawi.
Seorang yang stabil karena infuse itu tidak bisa dinyatakan sehat, dan kemudian
dicopot infusnya. Ini adalah pelanggaran HAM yang sangat serius. Sayang, Anand
Krishna masih tidak mau memperkarakan hal ini. Jika ia bersedia, sejumlah ahli
hukum internasional akan membantunya.”
Tanggal 30 setelah sampai di Rutan, dalam beberapa jam saja
tekanan darah, dan khususnya gula darahnya turun drastis dari 120 an menjadi di
bawah 100.
Maka, tanggal 1 April, ia dilarikan lagi ke RS Polri, di mana gula
darah dia diperiksa dan ternyata hanya 64. Menurut sumber medis yang dihubungi
TIRO, gula darah di bawah 70 itu amat sangat berbahaya dan “pasien bisa lewat”
alias bisa mati.
Selain itu, ketika di CT-Scan, ternyata otak sebelah kanan
Anand Krishna mengalami penyumbatan, dan terbukti pula bahwa malam sebelumnya
di rutan ia mengalami stroke ringan yang menyebabkan kaki kirinya sakit,
semutan berat, dan sulit digerakkan.
Selama di RS Polri kondisi Anand Krishna melemah terus, yang
mana disaksikan langsung oleh Komisioner HAM dan juga oleh perwakilan HAM
ASEAN. Ikut prihatin pula para tokoh nasional yang berkunjung, dari para artis
seperti Ayu Pasha, Dewa Budjana, Marcello, hingga agamawan seperti Romo Magnis,
Gus Nuril, Pedande Sebali, dan para tokoh masyarakat lain seperti Adnan Buyung
Nasution, Musdah Mulia, AS Hikam dan lain-lain.
Hingga tanggal 27 April, ketika keluarga Anand Krishna tidak
tahan melihat keadaannya dan mengupayakan penangguhan, karena Anand Krishna
sudah melakukan mogok makan selama 49 hari.
Oleh karena kejanggalan itu, pihak Anand Krishna tidak
berhenti disana. Laporan kedua terhadap
ketua majelis hakim Hari Sasangka pun dikeluarkan pada 1 Juni dari Prashant
Gangtani kepada Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Kali ini laporan tersebut
adalah dugaan-dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman yang tercela dan tidak
objektif dengan menjalin hubungan dengan saksi korban. Laporan tersebut
diperkuat oleh ratusan photo dan 5 orang saksi mata yang melihat langsung
kejadian tersebut.
Menurut Komisioner Komisi Yudisial yang menjabat sebagai
ketua bidang pengawasan hakim dan investigasi Suparman Marjuki, laporan dugaan
keras pelanggaran etika yang dilakukan oleh ketua hakim Hari Sasangka ini sudah
dianggap lengkap dan memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti.
Tak lama berselang, pada tanggal 8 Juni, Komunitas Pencinta
Anand Ashram melakukan aksi demo untuk kedua kalinya di depan PN Jakarta
Selatan, menuntut ketua pengadilan untuk segera mengganti hakim karena bukti
cukup yang menunjukkan bahwa hakim tidak objektif. Aksi damai ini ditanggapi
langsung oleh Ketua Pengadilan yang mengeluarkan penetapan mengganti seluruh
majelis hakim Anand Krishna. Sebab itulah hakim Hari pun dimutasi ke Ambon.
Maka jelaslah bahwa kenapa selama ini hakim majelis selalu
menunjukkan sikap keberpihakan dengan mengabaikan asas praduga tak bersalah
dalam kasus Anand Krishna. Keberpihakan ini terbukti dengan adanya hubungan
antara hakim dengan saksi pelapor Shinta Kencana Kheng.
Hakim jemputan
Adanya penetapan penahanan terhadap Anand Krishna
menimbulkan kecurigaan terhadap hakim Hari Sasangka. Menurut Prashant Gangtani
hakim tidak hanya mengijinkan saksi pelapor, tapi juga beberapa saksi lainnya
untuk mengijinkan saksi pelapor mengikuti persidangan, padahal sidang ini
tertutup, dan juga dalam persidangan saksi Shinta Kencana sempat menginterupsi
dan diterima oleh hakim Hari Sasangka. “itu seharusnya contempt of court. Mana boleh
orang yang duduk di bangku penonton menginterupsi majelis hakim,” jelas
Prashant.
Rasa kecurigaan inilah, yang mendorong pihak keluarga dan
komunitas untuk mencari tahu ada apa dengan hakim ini. Akhirnya terbuktilah
bahwa hakim telah bertemu saksi Shinta
Kencana Kheng yang terekam kamera. Terjadi 3 kali pertemuan di bulan Maret
sampai Mei. Dari bukti-bukti dan keterangan 5 orang saksi yang melihat langsung
kejadian ini, terlihat bahwa Shinta Kencana Kheng menjemput hakim di tengah
malam dan mengantarkannya kembali setelah berputar-putar selama 2 -3 jam dengan
mobil Karimun B 1426 KT. Setelah dicek ternyata nomor polisi tersebut memang
terdaftar atas nama Shinta Kencana Kheng. “Ada urusan apa hakim Hari dan Shinta
Kencana Kheng bertemu di tengah malam jam 12 –an selama 2 – 3 jam mereka
berduaan. Di satu pihak Shinta Kencana sendiri mengaku telah dilecehkan oleh
bapak saya, di pihak lain kami menduga ada hubungan antara hakim dan Shinta
Kencana entah hubungan apa?” ujar Prashant saat diwawancarai TIRO di PN Jakarta
Selatan beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, TIRO pun meminta konfirmasi kepada pihak
Shinta Kencana Kheng melalui handphone selularnya dan hingga berita ini
diturunkan yang bersangkutan tidak bisa dihubungi.
Keterangan Saksi Mata
Pada Rabu malam tanggal 23 Maret 2011 sekitar pukul 20:20
Wib Meini Listanti bersama dengan Nova Ariany melihat hakim Hari Sasangka
keluar dari rumah kost yang ditempatinya berjalan ke tempat parkir mobil di
Total Buah Segar yang berada di Jalan Ampera Raya.
Tak lama kemudian, Meini Listanti melihat Hari Sasangka
memasuki sebuah mobil Suzuki Karimun berwarna Silver dengan nomor polisi B 1426 KT. Karena pada saat itu posisi Meini
Listanti di belakang persis mobil, maka Meini Listanti dapat melihat bahwa yang
mengendarai mobil adalah Shinta Kencana Kheng. Meini Listanti dan Nova Ariany
sempat mengambil beberapa foto. Mobil kemudian berjalan menuju jalan Raya
Buncit, lalu pada akhirnya pukul 21:25 Wib memasuki area parkir Gedung Sarinah
Thamrin.
Ketiga saksi mata, Meina Listanti, Nova Ariany, dan Mochammad
Ichsan yakin bahwa kedua orang tersebut adalah hakim Hari Sasangka dan Shinta
Kencana Kheng, karena pernah melihat photo mereka dan pernah melihat langsung
di sidang PN Jakarta Selatan.
Pada saat itu, mobil terparkir namun mereka tidak keluar dari
dalam mobil sekitar 40 menit. Kemudian, mobil keluar dari areal parkir Gedung
Sarinah Thamrin, lalu pada pukul 23:15 Wib mobil tersebut sempat berhenti di
SPBU di daerah Fatmawati, dan Shinta Kencana Kheng yang mengendarai mobil
keluar untuk mengisi bensin. Pada saat Shinta Kencana Kheng keluar dari mobil,
Meini Listanti dan Nova Ariany dapat melihat dengan jelas sosok Shinta Kencana
Kheng.
Tak lama setelah itu, Shinta Kencana Kheng mengisi bensin
kemudian mobil berjalan dan menurunkan Hari Sasangka di dekat apotek K 5 Jalan
Ampera Raya, pada saat itu situasi jalan sangat gelap dan sepi. Meini Listanti
dan Nova Ariany melihat dengan jelas bahwa hakim Hari Sasangka keluar dari
mobil memegang sebuah kertas berwarna coklat seperti bungkusan atau amplop. Tak
jelas isinya apa, hanya Hari dan Shinta yang tahu.
Peristiwa serupa pun terulang pada hari Rabu tanggal 30
Maret 2011 sekitar pukul 20:55 Wib Meini Listanti bersama dengan Nova Ariany dan
Mochammad Ichsan melihat Hari Sasangka keluar dari rumah kost yang ditempatinya
berjalan menuju ke Jalan Ampera Raya. Sampai pada muka Jalan Ampera Raya, mobil
yang dikendarai oleh Shinta Kencana Kheng berhenti tepat di muka jalan kecil. Meini
Listanti dan Nova Ariany sempat mengambil beberapa foto. Kemudian Hari Sasangka
masuk ke dalam mobil.
Mobil yang ditumpanginya pun berjalan menuju komplek MPR 5
nomor 9 Cipete. Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng hanya berada di dalam
mobil sekitar kurang lebih satu setengah jam. Mochammad Ichsan dan Nova Ariany
sempat berjalan melewati mobil dan melihat keduanya di dalam mobil yang pada
saat itu mesin mobil dalam keadaan mati.
Sementara itu, mobil yang ditumpangi oleh Hari Sasangka dan
Shinta Kencana Kheng menuju jalan Ampera, lalu Hari Sasangka pun turun di dekat
jalan kecil menuju tempat kost yang ditempatinya.
Tak hanya dua kali, Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng
pun kembali jalan mesra untuk ketiga kalinya tepatnya pada hari Rabu tanggal 25
Mei 2011 sekitar pukul 20:50 Wib. Meini Listanti, Nova Ariany, dan Wilianto
Herlambang melihat mobil yang dikendarai oleh Shinta Kencana Kheng berhenti di
muka pintu rumah kost yang ditempati oleh Hari Sasangka.
Meini Listanti dan Nova Ariany sempat mengambil beberapa
foto ketika mobil berhenti tepat di pintu pagar rumah kost yang ditempati oleh Hari
Sasangka pada saat itu posisi mobil yang dikendarai oleh Meini Listanti dan
Nova Ariany berada tepat di belakang mobil, tetapi Meini Listanti dan Nova
Ariany tidak sempat melihat Hari Sasangka masuk ke dalam mobil, tetapi Wilianto
Herlambang melihat Hari Sasangka keluar dari pintu pagar rumah kost tersebut
dan masuk ke dalam mobil.
Selanjutnya Meini bersama dengan Nova dan Wilianto
Herlambang mengikuti mobil dan mengarah ke Pondok Indah serta melewati Pondok
Indah Mall lalu berputar arah untuk mencari tempat yang sepi, lalu mobil mereka
pun parkir di jalan yang sangat sepi dan gelap.
Sekitar kurang lebih 40 menit, Meini Listanti bersama Nova
Ariany dan Wilianto Herlambang menunggu Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng
keluar dari mobil, namun mereka tidak keluar sama sekali. Pada saat itu Meini
Listanti bersama Nova Ariany dan Wilianto Herlambang menghubungi Prabu Dennaga Susanto
dan Putu Sri Yuliawati untuk ikut memperhatikan mobil.
Bahkan Edi Lesmana dan Agus Yunus mengetahui kedua orang
tersebut adalah Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng. Karena setelah kejadian
sekitar pukul 24:00 Wib, Edi Lesmana dan Agus Yunus dihampiri seseorang bernama
Prashant Gangtani yang kemudian memperlihatkan foto-foto. Edi Lesmana dan Agus
Yunus yakin sama dengan orang yang duduk di dalam mobil sewaktu Edi Lesmana
menabrak mobil di Jalan Metro Kencana 4, Pondok Indah, Jakarta Selatan dan
diberitahu bahwa masing-masing bernama Hari Sasangka dan Shinta Kencana Kheng.
Kemudian mobil berjalan, lalu diikuti oleh Meini Listanti, Nova
Ariany dan Wilianto Herlambang. Sesampainya mobil berhenti secara mendadak di
dekat Trans TV, Hari Sasangka pun keluar dari mobil yang ditumpanginya dan
langsung berpindah ke taksi berwarna putih yang bernomor polisi B 2292 MU
dengan bersticker nomor telepon 021-26509000.
Atas tindakan serta keberpihakan sang majelis hakim Hari
Sasangka dengan hakim anggota lainnya diganti dengan hakim yang baru yaitu
Albertina Ho. Hari Sasangka pun mengakui pertemuannya dengan Shinta Kencana
Kheng di hadapan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Hari Sasangka lupa atau
pura-pura lupa dengan kode etik hakim bahwa hakim dilarang bertemu dengan saksi
pelapor. Fenomena langka pergantian majelis hakim ini memang jarang sekali
terjadi sepanjang pantauan TIRO.