Masih Melajang, Pergi
ke Kantor Naik Angkot
Pontianak Post,
Edisi Minggu, 16 Oktober 2011
Hanya dua tahun Albertina Ho
berkarir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Bulan depan, perempuan yang
namanya meroket saat menyidangkan kasus Gayus Halomoan Tambunan dan Jaksa Cirus
Sinaga itu harus pindah ke Bangka Belitung. Banyak yang menyayangkan kepindahan
tersebut.
Agung Putu Iskandar – Jakarta
Banyak pihak yang menyayangkan mutasi yang dilakukan
Mahkamah Agung (MA) tersebut. sebab, Albertina dianggap sebagai hakim yang
moncer. Ketekunannya menguliti satu persatu kejahatan Gayus Tambunan
menunjukkan bahwa dirinya bukan dirinya bukan tipe hakim yang menunggu Jaksa
Penuntut Umum (JPU) membeberkan alat bukti.
Albertina dikenal sebagai hakim yang paling susah dimintai
bocoran. Sebab, dia benar-benar merahasiakan putusan. Bahkan, dia rela sampai
harus mengetik sendiri setiap putusan. Itu dilakukan agar pertimbangan majelis
hakim tidak bocor karena panitera bersekongkol dengan mafia perkara.
Lantas, mengapa dia dimutasi? “Saya tak pernah
mempermasalahkan mutasi. Kita ini kan hanya prajurit, harus nurut,” katanya
saat ditemui disela-sela agenda sidang di PN Jakarta Selatan pekan lalu.
Albertina memang enggan berpolemik terkait dengan mutasi
yang harus ia jalani. Dia percaya bahwa keputusan MA adalah yang terbaik bagi
organisasi. Yang dia pikirkan hanya sejumlah tanggungan kasus yang mesti
diselesaikan sebelum bertugas sebagai wakil ketua Pengadilan Negeri Sungailiat,
Bangka Belitung.
Kasus-kasus itu, antara lain, pelecehan seksual dengan
terdakwa Anand Khrisna, kasus penggelapan dengan terdakwa Daniel Sinambella,
dan kasus korupsi di pengadilan Tipikor Jakarta dengan terdakwa Jaksa Cirus
Sinaga. Albertina sangat berharap bisa menangani kasus tersebut sampai
putusan. “Tapi, kalau diganti di tengah
sidang, itu terserah ketua pengadilan,” katanya.
Sehari-hari, perempuan yang masih melajang tersebut tinggal
di rumah dinas di Perumahan Hakim, Gang Sri Sulastri, jalan Ampera. Tak sampai
5 kilometer ke arah selatan dari pengadilan tempat dirinya bertugas. Karena
jarak yang sangat dekat itu, hakim kelahiran Maluku Tenggara tersebut sangat
jarang naik mobil pribadi saat berangkat tugas. Dia lebih suka naik angkot.
Kadang-kadang, beberapa orang melihatnya berjalan kaki. Tapi, tak berarti
Albertina tak punya mobil pribadi. Para pencari keadilan di PN Jakarta Selatan
sudah mafhum bahwa mobil Nissan Livina yang diparkir di halaman pengadilan
adalah milik perempuan 51 tahun tersebut. Mobil silver itu biasanya diparkir di
halaman depan kantor pengadilan dan diapit dua traffic cone
.
Rutinitas pengadil itu juga sangat simpel. Tiap akhir pekan,
dia lebih suka pulang kampung ke Jogjakarta. Jum’at sore, biasanya dia sudah
dijemput agar bisa terbang atau naik kereta ke Jogjakarta. Tujuannya, Sabtu
pagi, dia sudah beraktifitas di rumah.
Karena itu, begitu dipindah ke Sungailiat, Albertina
sejatinya kurang sreg. Bukan apa-apa, rute perjalanannya ke kota Gudeg itu
menjadi tidak simpel. Malahan cenderung ruwet. Sebab, dia harus ke Jakarta dulu
untuk bisa naik kereta atau pesawat terbang ke Jogjakarta.
“Kalau pulang ke Jogja saya harus ke Jakarta dulu, baru
melanjutkan ke Jogja. Biaya pulang akan relatif lebih mahal. Kalau hanya dari
Jakarta kan beda, langsung saja naik kereta atau pesawat,” ujarnya enteng.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 1985
tersebut berusaha berbesar hati atas mutasi yang harus dijalani. Dia justru
beranggapan bahwa kepindahan ke Sungailiat itu merupakan blessing in disguise
alias berkah yang tersembunyi. Sebab, dia justru dijauhkan dari jangkauan mafia
perkara. Hal itu membuat integritasnya sebagai hakim tetap terpelihara.
Berarti, di PN Jakarta Selatan banyak godaan duit? “Anda
ini, sudah tahu tanya. Saya pikir teman-teman wartawan itu lebih tahu daripada
saya,” katanya lantas terkekeh.
Berapa biasanya tawaran duit untuk setiap kasus? “Pasti
besarlah. Namanya juga Jakarta, pusat bisnis. Hidup di Jakarta itu biaya hidup
tinggi,”imbuhnya.
Tapi, tidak berarti di Sungailiat tidak ada mafia perkara.
Namun, Albertina bersyukur karena interaksi dirinya dengan kasus-kasus korupsi
yang rentan dengan mafia perkara akan semakin jarang. Sebab, di Provinsi Bangka
Belitung tidak ada pengadilan khusus korupsi.
Bolak-balik dipindah tugas, Albertina menganggap biasa.
Sebelum di PN Jakarta Selatan, dia pernah bertugas di PN Temanggung, Jawa
Tengah (1996-2002) dan PN Cilacap, Jawa Tengah (2002-2005). Pada 2005-2009, dia
bertugas ke Jakarta sebagai asisten koordinator MA merangkap sekretaris wakil
ketua MA bidang yudisial.
“Jadi hakim dimana
saja itu sama. Nggak ada bedanya. Ya, yang beda paling cuma apakah ruang sidangnya
ada AC (Air Conditioning, Red) atau tidak. Panas atau dinging suasananya,”
ungkapnya lantas tersenyum.
Bukan tanpa sebab Albertina menjadi pribadi yang bersahaja. Sejak
kecil, ia harus hidup mandiri, jauh dari orang tua, dengan pindah dari Dobo,
Maluku Tenggara ke kota Ambon. Tujuannya, dirinya tetap bisa bersekolah.
Di Ambon, Albertina
tinggal di rumah saudaranya. Setiap selesai sekolah, dia menjaga warung
kelontong milik saudaranya di pasar Ambon. Dia bahkan sempat menjadi pelayan
warung kopi untuk membiayai hidup dan sekolah.
Kendati lahir di Ambon, Albertina belum pernah bertugas di
tanah kelahirannya. Dia justru lebih banyak ditugaskan di Jawa Tengah. Lulusan Magister
Hukum dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, itu sudah kenyang
pengalaman bersidang di tengah konflik reformasi. Yakni, saat menyidangkan
kasus-kasus pembunuhan orang-orang yang dianggap dukun santet.
Albertina mengakui, saat itu situasi memburuk. Apalagi sebagai
hakim, banyak ancaman dan terror. Namun, dia tetap berfokus menyidangkan orang-orang
yang secara sah dan meyakinkan menghilangkan nyawa orang lain. Albertina sama sekali tak gentar meski diancam
disantet. “Saya percaya kepada Tuhan karena saya tidak punya kekuatan apa-apa. Satu-satunya
cara saya pasrah. Saya harus percaya pada pertolongan Tuhan,” ujarnya.
Dia memahami, mutasi dirinya memantik reaksi di masyarakat. Bahkan,
sejumlah orang membuat dukungan di jejaring social Twitter dan Facebook untuk
menolak kebijakan tersebut. Albertina mengaku terharu. Tapi, bagaimanapun itu adalah
tugas yang harus dia jalani.
“Masyarakat punya hak untuk menilai dan berkomentar. Bagi saya,
semua komentar dan kritik tersebut saya terima dengan senang hati karena itu
masukan. Kalau ada yang menyayangkan itu, saya terima kasih. Berarti masih ada
yang simpati kepada saya,” katanya. “Tapi,
tidak berarti saya tidak senang atau kecewa lho ya,” imbuhnya mewanti-wanti.