Suara Pembaruan
Edisi Selasa 11 Oktober 2011
Dari Terapi Holistik ke Meja Hijau
Hampir satu tahun tokoh spiritual lintas agama yang dikenal
nasionalis dan humanis, Anand Krishna duduk sebagai pesakitan di Ruang
Sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lelaki paruh baya ini didakwa
atas dugaan pelecehan seksual yang dilaporkan oleh mantan muridnya,
Tara Pradipta Laksmi
Tara mengaku telah dilecehkan oleh Anand di tempat terapi holistic,
L’ayurveda milik Anand di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan tahun
2009. Proses persidangan yang panjang dan melelahkan pun dihadapi Anand
hingga saat ini.
Kuasa hukum Anand, Humphrey R Djemat menilai tuduhan pelecehan
seksual yang ditujukan pada kliennya tidak berdasar dan sulit
dibuktikan. Ada dugaan tuduhan ini didasari motif dendam dan perebutan
asset Yayasan Ashram yang didirikan Anand.
Awal proses persidangan pun dirasakan pihak Anand dan tim kuasa hukumnya diwarnai beberapa kejanggalan.
Bahkan pada tanggal 6 Juni lalu tim kuasa hukum Anand melaporkan
Ketua Majelis Hakim, Hari Sasangka yang saat itu menangani kasus Anand
ke Komisi Yudisial (KY)
Pengaduan tersebut terkait adanya dugaan pelanggaran kode etik yang
dilakukan sang hakim. Dalam pengaduannya, tim kuasa Anand menyerahkan
sejumlah bukti berupa foto-foto ketika Hari Sasangka bertemu dengan
saksi korban yang bernama Shinta Kencana Kheng. Selain itu lima orang
saksi yang pernah melihat sang hakim bertemu saksi korban juga
dihadirkan dihadapan Komisioner KY bidang Pengawasan Hakim Suparman
Marzuki.
Esok harinya pasca pengaduan tim kuasa hukum Anand, Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Herry Swantoro mengganti seluruh Majelis Hakim
yang menangani perkara Anand. Ketua PN Jakarta Selatan menunjuk
Albertina Ho sebagai Ketua Majelis, Muhammad Razzad sebagai hakim
anggota majelis, dan Suko Harsono sebagai hakim anggota majelis.
Ketiganya menggantikan Ketua Majelis Hakim, Hari Sasangka, dan hakim
anggota majelis, Subyantoro dan Didik Setyo Handono.
“ Laporan yang kami buat ke KY adalah murni merupakan dugaan
pelanggaran kode etik, karena hakim telah melakukan perbuatan tercela.
Hakim tersebut telah melakukan hubungan dengan saksi korban wanita
dalam perkara yang sedang diperiksanya di PN Jakarta Selatan dengan
terdakwa Anand Krishna,” ungkap Humphrey.
Menjalin hubungan
Menurut Humphrey, seharusnya seorang hakim tidak diperbolehkan
menjalin hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat,
penuntut umum dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang tengah diperiksa
hakim bersangkutan. Hal tersebut melanggar kode etik dan pedoman
perilaku hakim.
Ketua Komite Advokasi Anand Krishna, Helmi, SH berharap hakim
pengganti yakni, Albertina Ho dapat mengembalikan proses persidangan ke
kasus semula, yaitu pembuktian terhadap dugaan pencabulan yang
ditudukan kepada Anand Krishna.
“selama ini Hakim Hari Sasangka telah membelokkan perkara.
Seharusnya hakim menyidangkan kasus pencabulan yang dituduhkan pada
Anand, tapi nyatanya dalam setiap persidangan hakim malah menyerang dan
menghakimi pemikiran-pemikiran Anand, lewat pertanyaan-pertanyaannya
yang lebih banyak membahas mengenai isi buku-buku yang ditulis Anand,”
jelasnya.
Kuasa hukum Anand menilai, tuduhan pelecehan seksual yang
dialamatkan pada kliennya banyak yang kabur. Khususnya pasal 290 KUHP
adalah adanya pelecehan yang dilakukan orang dalam keadaan tidak
berdaya. Sedangkan, pasa 294 KUHP orang itu dalam pengawasan orang lain.
“ yang harus kita buktikan apakah benar atau tidak adanya pelecehan
seksual yang dilakukan oleh klien saya terhadap Tara, dan bagaimana
pelecehan seksual itu terjadi. Apakah karena memang dalam keadaan tidak
berdaya, ataukah memang Anand statusnya guru. JPU harus mampu
membuktikan surat dakwaannya,” tandasnya