Selasa, 28 Februari 2012

Anand Menjawab Fitnah


Majalah Barometer
Edisi February – Maret 2012
Laporan Utama hal. 8 - 9


Anand Krishna merasa difitnah atas tuduhan pelecehan seksual yang dilakukannya. Apalagi banyak kejanggalan yang terlihat selama persidangan awal dan sekarang. Dalam nota pembelaannya Tim Kuasa Hukum Anand membeberkan sejumlah bukti ketidak benaran tuduhan terhadap pelecehan seksual yang dilakukan Anand. Anand sendiri melihat jika kasus ini adalah upaya kriminalisasi terhadap pemikirannya.

Guru yoga dan meditasi, Anand Krishna merasa selama ini dirinya telah difitnah atas kasus hukum yang membelitnya. Kasus hukum yang menimpa Anand bermula dari laporan sejumlah murid spiritual Anand Krishna yang merasa menjadi korban pelecehan seksual saat meditasi. Kasus ini telah membuat JPU menuntut hukuma penjara terhadap Anand Krishna selama dua tahun enam bulan dengan dua dakwaan yaitu pasal 290 KUHP tentang perbuatan cabul terhadap seseorang yang tidak berdaya atau pingsan, dan pasal 294 KUHP tentang perbuatan cabul yang dilakukan oleh pengurus, dokter, guru, pegawai di tempat pendidikan, tempat pekerjaan Negara atau lembaga sosial.

Dalam sidang yang beragendakan pembelaan terdakwa dan kuasa hukumnya, Prashant Gangtani, anak Anand Krishna, mengatakan bahwa banyak sekali kejanggalan yang terjadi selama sidang dengan Majelis Hakim sebelumnya. “Kami akan membongkar keterangan saksi selama persidangan dahulu dengan sekarang, dari rekaman audio dan video. Karena ada kejanggalan dari keterangan saksi-saksi tersebut di antaranya saksi pelapor (Tara Pradipta Laksmi ). Banyak keterangan yang tidak benar dan saling bertentangan,” ucap Prashant.

Banyak Kejanggalan Yang Terlihat

Seperti dikatakan Prashant, Anand juga mengungkapkan banyak kejanggalan yang ia rasakan dalam sidang kasusnya. Keterangan saksi pelapor tunggal, yakni Tara Pradipta Laksmi yang menyebut pelecehan terjadi pada 21 Maret 2009 di Ciawi, jelas tidak terbukti karena pada saat bersamaan Anand sedang berada di Sunter menghadiri pertemuan dengan puluhan orang.

Tara juga menerangkan pada Mei 2009 merasa mendapatkan pencabulan yang diduga dilakukan oleh terdakwa Anand Krishna di Bali dan bukan di Padepokan One Earth Ciawi, Bogor. Padahal menurut Anand, ia tidak pernah bertemu secara khusus dengan Tara pada saat dirinya berada di Bali.

Anand menambahkan bahwa pada awalnyaTara mengaku jika pelecehan seksual terhadap dirinya terjadi setiap hari dan hingga berbulan-bulan. “Keterangan di bawah sumpah ini kemudian diubahnya sendiri menjadi 4 kali saja,” ucap Anand.

Terhadap kejadian yang menimpanya ini, Tara mengaku tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun termasuk ibunya, Drs Wijarningsih. Ia baru menceritakan pada saat ia diperiksa di kepolisian. Namun Shinta Kencana Kheng menerangkan dalam persidangan jika Tara bercerita padanya tentang kejadian yang menimpanya pada saat pertemuan-pertemuan di rumah MD Abrory Djabbar, di mana hadir pula banyak orang lain yang kemudian hadir di pengadilan sebagai saksi, termasuk di antaranya ibu Tara, Wijarningsih.

Kuasa hukum Anand, Otto Hasibuan juga menambahkan, pada saat kejadian, Tara mengatakan Maya adalah orang yang melihat kejadian tersebut, tapi Maya sendiri mengaku pelecehan tersebut tidak benar. “Artinya berlaku unus testis nullus testis, atau satu saksi bukanlah saksi,” kata kuasa hukum Anand, Otto Hasibuan. Maya juga menambahkan jika pertemuan Anand dengan Tara yang didampingi oleh Maya hanya sebatas pertemuan  biasa untuk membahas permasalahan yang dialami Tara.

Bahkan menurut ketua Yayasan Anand Ashram ini mengaku bahwa dirinya adalah penderita Post Traumatic Stress Disorder (PSTD). PSTD adalah stress paska trauma karena mengalami pelecehan seksual dan apabila terjadi pelecehan seksual di depan matanya, ia pasti akan menentang pelecehan seksual yang terjadi apalagi jika hal itu dilakukan oleh Anand Krishna.

Kejanggalan lain dari saksi pelapor adalah tidak adanya rasa trauma atas kejadian yang menimpanya. Hal ini terlihat ketika Tara yang diduga mendapatkan pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Anand, masih mau mengunjungi Anand Ashram Sunter, L’Ayurveda Fatmawati dan Padepokan One Earth Ciawi, Bogor.
Hal ini sangat bertentangan dan bertolak belakang dengan pendapat Ahli Hipnoterapi, Adi W. Gunawan dan Ahli Psikologi Prof. Dr. Luh Ketut Suryani, yang memberikan pendapat pada pemeriksaan persidangan perkara a quo bahwa seorang korban pencabulan maupun pelecehan seksual akan mempunyai rasa trauma yang sangat besar dan ketakutan yang luar biasa atas kejadiannya yang pernah menimpanya.

Melihat wajah Tara Pradipta Laksmi, baik saat tampil di TV berulang kali dan juga di pengadilan, Prof Suryani yang juga pendiri CASA (Committee Anti Sexual Abuse) menyampaikan kepada majelis hakim bahwa selama menangani ratusan kasus pelecehan seksual, ia tidak pernah melihat seorang pun korban yang bisa bercerita dengan wajah berseri-seri dan sambil ketawa-ketiwi seperti Tara Pradipta Laksmi.

Prof. Suryani juga menjelaskan apabila seorang korban pencabulan ataupun pelecehan seksual diajak untuk mengunjungi tempat kejadian atau bertemu dengan si pelaku pencabulan maka akan timbul rasa rakut kemudian si korban tersebut akan mengingat-ingat kembali kejadian yang pernah menimpanya. Reaksi yang ditimbulkan oleh korban adalah akan timbul rasa kecemasan, keringat dingin, gemetar dan akan sering meminta perlindungan kepada orang yang dipercayainya, selain itu seorang korban juga dapat memperlihatkan reaksi yang lebih seperti akan berontak serta berteriak histeris karena ketakutan kejadian yang pernah menimpanya akan terulang kembali kepada dirinya, apabila si korban diajak untuk kembali kepada tempat kejadian dan bertemu dengan si pelaku pencabulan.

Dugaan bahwa Anand juga melakukan pelecehan seksual terhadap Sumidah, seorang terapis di L’Ayurveda Bali pun tidak terbukti. Sebenarnya Sumidah diinstruksikan oleh Debby Christiani Soetopo untuk melakukan pemijatan pada Anand di L’Ayurveda Bali. Anand tidak pernah mendatangi Sumidah secara langsung untuk melakukan pemijatan terhadap dirinya di L’Ayurveda Bali. Pemijatan yang dilakukan oleh Sumidah hanya pada bagian kaki karena kaki Anand pernah mengalami cidera. Jadi pemijatan tersebut juga bersifat terapi karena adanya cidera tersebut.

Di muda persidangan, Debby menyatakan tidak ada perbuatan cabul yang dilakukan Anand baik di L’Ayurveda Bali dan di mana pun, baik terhadap Sumidah maupun kepada siapa pun. Sebaliknya Debby melaporkan Sumidah atas perbuatan tak menyenangkan ke Polda Bali, karena Sumidah pernah menuduh Debby di salah satu acara TV swasta.

Saat dilakukan pemeriksaan pun Sumidah tidak mempunyai rasa trauma dan ketakutan sama sekali dan bersikap normal saat bertemu dengan Anand. Ia tidak memperlihatkan reaksi seperti cemas, keringat dingin, gemetar atau terlebih lagi berontak serta berteriak histeris.

Hampir serupa dengan kasus keduanya, Anand juga dituduhkan melakukan pelecehan seksual terhadap Shinta Kencana Kheng. Kronologisnya pada Kamis,  25 Februari 2010 Anand menghubungi Shinta sekitar jam 23.00 Wib setelah sebuah acara untuk datang ke rumahnya yang ada di One Earth. Saat itu hanya Shinta dan Anand yang berada di sana, hingga terjadilah pelecehan seksual itu. Konon Shinta tak kuasa menolak karena pemahaman Shinta bahwa Anand adalah seorang guru, dan sebagai murid sah-sah saja bila diminta melakukan apapun untuk seorang guru.

“Sungguh lucu sekali,” ujar Darwin Aritongan, salah seorang penasehat hukum Anand sambil menambahkan. “Shinta Kencana Kheng sudah menjadi saksi dalam kasus yang dilaporkan oleh Tara Pradipta Laksmi pada 18 Februari 2010, di mana di juga menjelaskan tentang pelecehan yang diakui telah dialaminya. Bagaimana mungkin dia bisa melaporkan satu kejadian yang baru akan terjadi seminggu kemudian?”

Dalam pledoinya Tim Penasehat Hukum menjelaskan jika Anand adalah seorang yang aktif secara spiritual, tetapi bukan merupakan seorang pemuda agama, Anand Krishna tidak pernah menjadi pengajar agama atau memberikan pengajran atas ajaran-ajaran agama tertentu.

Justru Yayasan Anand Ashram yang didirikan oleh Anand Krishna merupakan tempat untuk mengadakan berbagai macam kegiatan dalam bentuk program-program pelatihan. Kegiatan Anand Ashram tidak berpusat pada masalah yoga dan pemberdayaan diri saja, maupun program-program pelatihan lainnya, tetapi juga terkait dengan pendidikan, sosial, dan aktivitas-aktivitas kebangsaan, seperti mempromosikan kebhinekaan dan sebagainya.

Orang Lain Ikut Tercemar

Anand sudah barang tentu amat prihatin terhadap kasus hukum yang membelitnya, terlebih lagi kerabat, keluarga, maupun orang-orang yang kerap membantunya telah dicemarkan nama baiknya. Sebab, menurut Anand, nama mereka ikut dicatut dalam persidangan sebagai saksi-saksi yang mengaku dilecehkan juga oleh Anand.

Adapun saksi-saksi yang mengaku dilecehkan tersebut adalah Sumidah, Shinta Kencana Kheng, Dian Mayasari, dan Faradiba Agustin. Namun semuanya tidak ada yang pernah melihat kejadian yang didakwakan kepada Anand. “Ditambah saat Tara menyebutkan waktu kejadian pelecehan itu, Anand sedang melakukan kegiatan open house di tempat lain, artinya keberadaan Anand disaksikan oleh banyak orang saat itu,” jelas Otto.

Dugaan Adanya Aktor Intelektual

Anand menilai kasus ini sebagai pembunuhan karakter terdahap dirinya yang seorang guru yoga dan meditasi. “Tuduhan ini merupakan bentuk kriminalisasi atas pemikiran saya,” aku Anand. Bukan tanpa alasan Anand berkata demikian karena dalam pengadilan yang bolak-balik dibahas adalah buku dan tulisannya, seperti yang terjadi dalam persidangan sebelumnya. Ketua Majelis Hakim Hari Sasangka secara terang-terangan membawa setumpuk buku karya Anand yang diletakkannya di atas meja, seolah yang akan diadilinya itu bukan kasus pelecehan, tetapi sesuatu yang menyangkut isi buku-buku tersebut.

Ia mencurigai adanya konspirasi pihak tertentu di balik kasus yang menjeratnya ini. Anand menyebut nama seorang oknum yakni Muhammad Djumaat Abrory Djabbar. “Ada satu aktor intelektual yang menggulirkan kasus ini. Pertemuan-pertemuan dilakukan olehnya, lebih dari sepuluh kali sebelum dilaporkan kepada polisi,” tuding Anand. Adapun tudingannya itu memang diperoleh dari kesaksian para saksi JPU sendiri dalam pengadilan yang semuanya, tanpa kecuali, memang mengakui tentang adanya pertemuan-pertemuan tersebut.

Penasehat Hukum Anand, Otto Hasibuan juga menambahkan, saksi Muhammad Djumaat Abrory Djabbar sendiri mengaku bahwa dia lah yang mencarikan kuasa hukum bagi saksi pelapor satu-satunya, yaitu Tara Pradipta Laksmi. Dia juga mengaku bahwa dirinya yang menganjurkan siapa yang menjadi pelapor dan siapa yang menjadi saksi, dan siapa dulu yang melapor ke polisi.  Selain itu, Muhammad Djumaat Abrory Djabbar juga terbukti menggunakan dua identitas dengan tanggal lahir, dan alamat yang beda saat melapor ke polisi sebagai saksi, dan saat bersumpah di Kepolisian. (Yudi/AS)


Flag Counter