Majalah Barometer
Edisi February – Maret 2012
Laporan Utama hal. 8 - 9
Anand Krishna merasa difitnah atas tuduhan pelecehan seksual
yang dilakukannya. Apalagi banyak kejanggalan yang terlihat selama persidangan
awal dan sekarang. Dalam nota pembelaannya Tim Kuasa Hukum Anand membeberkan
sejumlah bukti ketidak benaran tuduhan terhadap pelecehan seksual yang
dilakukan Anand. Anand sendiri melihat jika kasus ini adalah upaya
kriminalisasi terhadap pemikirannya.
Guru yoga dan meditasi, Anand Krishna merasa selama ini
dirinya telah difitnah atas kasus hukum yang membelitnya. Kasus hukum yang
menimpa Anand bermula dari laporan sejumlah murid spiritual Anand Krishna yang
merasa menjadi korban pelecehan seksual saat meditasi. Kasus ini telah membuat
JPU menuntut hukuma penjara terhadap Anand Krishna selama dua tahun enam bulan
dengan dua dakwaan yaitu pasal 290 KUHP tentang perbuatan cabul terhadap
seseorang yang tidak berdaya atau pingsan, dan pasal 294 KUHP tentang perbuatan
cabul yang dilakukan oleh pengurus, dokter, guru, pegawai di tempat pendidikan,
tempat pekerjaan Negara atau lembaga sosial.
Dalam sidang yang beragendakan pembelaan terdakwa dan kuasa
hukumnya, Prashant Gangtani, anak Anand Krishna, mengatakan bahwa banyak sekali
kejanggalan yang terjadi selama sidang dengan Majelis Hakim sebelumnya. “Kami
akan membongkar keterangan saksi selama persidangan dahulu dengan sekarang,
dari rekaman audio dan video. Karena ada kejanggalan dari keterangan saksi-saksi
tersebut di antaranya saksi pelapor (Tara Pradipta Laksmi ). Banyak keterangan
yang tidak benar dan saling bertentangan,” ucap Prashant.
Banyak Kejanggalan
Yang Terlihat
Seperti dikatakan Prashant, Anand juga mengungkapkan banyak
kejanggalan yang ia rasakan dalam sidang kasusnya. Keterangan saksi pelapor
tunggal, yakni Tara Pradipta Laksmi yang menyebut pelecehan terjadi pada 21
Maret 2009 di Ciawi, jelas tidak terbukti karena pada saat bersamaan Anand
sedang berada di Sunter menghadiri pertemuan dengan puluhan orang.
Tara juga menerangkan pada Mei 2009 merasa mendapatkan
pencabulan yang diduga dilakukan oleh terdakwa Anand Krishna di Bali dan bukan
di Padepokan One Earth Ciawi, Bogor. Padahal menurut Anand, ia tidak pernah
bertemu secara khusus dengan Tara pada saat dirinya berada di Bali.
Anand menambahkan bahwa pada awalnyaTara mengaku jika
pelecehan seksual terhadap dirinya terjadi setiap hari dan hingga
berbulan-bulan. “Keterangan di bawah sumpah ini kemudian diubahnya sendiri
menjadi 4 kali saja,” ucap Anand.
Terhadap kejadian yang menimpanya ini, Tara mengaku tidak
pernah menceritakannya kepada siapa pun termasuk ibunya, Drs Wijarningsih. Ia
baru menceritakan pada saat ia diperiksa di kepolisian. Namun Shinta Kencana
Kheng menerangkan dalam persidangan jika Tara bercerita padanya tentang
kejadian yang menimpanya pada saat pertemuan-pertemuan di rumah MD Abrory
Djabbar, di mana hadir pula banyak orang lain yang kemudian hadir di pengadilan
sebagai saksi, termasuk di antaranya ibu Tara, Wijarningsih.
Kuasa hukum Anand, Otto Hasibuan juga menambahkan, pada saat
kejadian, Tara mengatakan Maya adalah orang yang melihat kejadian tersebut,
tapi Maya sendiri mengaku pelecehan tersebut tidak benar. “Artinya berlaku unus
testis nullus testis, atau satu saksi bukanlah saksi,” kata kuasa hukum Anand,
Otto Hasibuan. Maya juga menambahkan jika pertemuan Anand dengan Tara yang
didampingi oleh Maya hanya sebatas pertemuan
biasa untuk membahas permasalahan yang dialami Tara.
Bahkan menurut ketua Yayasan Anand Ashram ini mengaku bahwa
dirinya adalah penderita Post Traumatic Stress Disorder (PSTD). PSTD adalah
stress paska trauma karena mengalami pelecehan seksual dan apabila terjadi
pelecehan seksual di depan matanya, ia pasti akan menentang pelecehan seksual
yang terjadi apalagi jika hal itu dilakukan oleh Anand Krishna.
Kejanggalan lain dari saksi pelapor adalah tidak adanya rasa
trauma atas kejadian yang menimpanya. Hal ini terlihat ketika Tara yang diduga
mendapatkan pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Anand, masih mau
mengunjungi Anand Ashram Sunter, L’Ayurveda Fatmawati dan Padepokan One Earth
Ciawi, Bogor.
Hal ini sangat bertentangan dan bertolak belakang dengan
pendapat Ahli Hipnoterapi, Adi W. Gunawan dan Ahli Psikologi Prof. Dr. Luh
Ketut Suryani, yang memberikan pendapat pada pemeriksaan persidangan perkara a
quo bahwa seorang korban pencabulan maupun pelecehan seksual akan mempunyai
rasa trauma yang sangat besar dan ketakutan yang luar biasa atas kejadiannya
yang pernah menimpanya.
Melihat wajah Tara Pradipta Laksmi, baik saat tampil di TV
berulang kali dan juga di pengadilan, Prof Suryani yang juga pendiri CASA
(Committee Anti Sexual Abuse) menyampaikan kepada majelis hakim bahwa selama
menangani ratusan kasus pelecehan seksual, ia tidak pernah melihat seorang pun
korban yang bisa bercerita dengan wajah berseri-seri dan sambil ketawa-ketiwi
seperti Tara Pradipta Laksmi.
Prof. Suryani juga menjelaskan apabila seorang korban
pencabulan ataupun pelecehan seksual diajak untuk mengunjungi tempat kejadian
atau bertemu dengan si pelaku pencabulan maka akan timbul rasa rakut kemudian
si korban tersebut akan mengingat-ingat kembali kejadian yang pernah
menimpanya. Reaksi yang ditimbulkan oleh korban adalah akan timbul rasa
kecemasan, keringat dingin, gemetar dan akan sering meminta perlindungan kepada
orang yang dipercayainya, selain itu seorang korban juga dapat memperlihatkan
reaksi yang lebih seperti akan berontak serta berteriak histeris karena
ketakutan kejadian yang pernah menimpanya akan terulang kembali kepada dirinya,
apabila si korban diajak untuk kembali kepada tempat kejadian dan bertemu
dengan si pelaku pencabulan.
Dugaan bahwa Anand juga melakukan pelecehan seksual terhadap
Sumidah, seorang terapis di L’Ayurveda Bali pun tidak terbukti. Sebenarnya
Sumidah diinstruksikan oleh Debby Christiani Soetopo untuk melakukan pemijatan
pada Anand di L’Ayurveda Bali. Anand tidak pernah mendatangi Sumidah secara
langsung untuk melakukan pemijatan terhadap dirinya di L’Ayurveda Bali.
Pemijatan yang dilakukan oleh Sumidah hanya pada bagian kaki karena kaki Anand
pernah mengalami cidera. Jadi pemijatan tersebut juga bersifat terapi karena
adanya cidera tersebut.
Di muda persidangan, Debby menyatakan tidak ada perbuatan
cabul yang dilakukan Anand baik di L’Ayurveda Bali dan di mana pun, baik
terhadap Sumidah maupun kepada siapa pun. Sebaliknya Debby melaporkan Sumidah
atas perbuatan tak menyenangkan ke Polda Bali, karena Sumidah pernah menuduh
Debby di salah satu acara TV swasta.
Saat dilakukan pemeriksaan pun Sumidah tidak mempunyai rasa
trauma dan ketakutan sama sekali dan bersikap normal saat bertemu dengan Anand.
Ia tidak memperlihatkan reaksi seperti cemas, keringat dingin, gemetar atau
terlebih lagi berontak serta berteriak histeris.
Hampir serupa dengan kasus keduanya, Anand juga dituduhkan
melakukan pelecehan seksual terhadap Shinta Kencana Kheng. Kronologisnya pada
Kamis, 25 Februari 2010 Anand
menghubungi Shinta sekitar jam 23.00 Wib setelah sebuah acara untuk datang ke
rumahnya yang ada di One Earth. Saat itu hanya Shinta dan Anand yang berada di
sana, hingga terjadilah pelecehan seksual itu. Konon Shinta tak kuasa menolak
karena pemahaman Shinta bahwa Anand adalah seorang guru, dan sebagai murid
sah-sah saja bila diminta melakukan apapun untuk seorang guru.
“Sungguh lucu sekali,” ujar Darwin Aritongan, salah seorang
penasehat hukum Anand sambil menambahkan. “Shinta Kencana Kheng sudah menjadi
saksi dalam kasus yang dilaporkan oleh Tara Pradipta Laksmi pada 18 Februari
2010, di mana di juga menjelaskan tentang pelecehan yang diakui telah
dialaminya. Bagaimana mungkin dia bisa melaporkan satu kejadian yang baru akan
terjadi seminggu kemudian?”
Dalam pledoinya Tim Penasehat Hukum menjelaskan jika Anand
adalah seorang yang aktif secara spiritual, tetapi bukan merupakan seorang
pemuda agama, Anand Krishna tidak pernah menjadi pengajar agama atau memberikan
pengajran atas ajaran-ajaran agama tertentu.
Justru Yayasan Anand Ashram yang didirikan oleh Anand
Krishna merupakan tempat untuk mengadakan berbagai macam kegiatan dalam bentuk
program-program pelatihan. Kegiatan Anand Ashram tidak berpusat pada masalah
yoga dan pemberdayaan diri saja, maupun program-program pelatihan lainnya,
tetapi juga terkait dengan pendidikan, sosial, dan aktivitas-aktivitas
kebangsaan, seperti mempromosikan kebhinekaan dan sebagainya.
Orang Lain Ikut
Tercemar
Anand sudah barang tentu amat prihatin terhadap kasus hukum
yang membelitnya, terlebih lagi kerabat, keluarga, maupun orang-orang yang
kerap membantunya telah dicemarkan nama baiknya. Sebab, menurut Anand, nama
mereka ikut dicatut dalam persidangan sebagai saksi-saksi yang mengaku
dilecehkan juga oleh Anand.
Adapun saksi-saksi yang mengaku dilecehkan tersebut adalah
Sumidah, Shinta Kencana Kheng, Dian Mayasari, dan Faradiba Agustin. Namun semuanya
tidak ada yang pernah melihat kejadian yang didakwakan kepada Anand. “Ditambah
saat Tara menyebutkan waktu kejadian pelecehan itu, Anand sedang melakukan
kegiatan open house di tempat lain, artinya keberadaan Anand disaksikan oleh
banyak orang saat itu,” jelas Otto.
Dugaan Adanya Aktor
Intelektual
Anand menilai kasus ini sebagai pembunuhan karakter terdahap
dirinya yang seorang guru yoga dan meditasi. “Tuduhan ini merupakan bentuk
kriminalisasi atas pemikiran saya,” aku Anand. Bukan tanpa alasan Anand berkata
demikian karena dalam pengadilan yang bolak-balik dibahas adalah buku dan
tulisannya, seperti yang terjadi dalam persidangan sebelumnya. Ketua Majelis
Hakim Hari Sasangka secara terang-terangan membawa setumpuk buku karya Anand
yang diletakkannya di atas meja, seolah yang akan diadilinya itu bukan kasus
pelecehan, tetapi sesuatu yang menyangkut isi buku-buku tersebut.
Ia mencurigai adanya konspirasi pihak tertentu di balik
kasus yang menjeratnya ini. Anand menyebut nama seorang oknum yakni Muhammad
Djumaat Abrory Djabbar. “Ada satu aktor intelektual yang menggulirkan kasus
ini. Pertemuan-pertemuan dilakukan olehnya, lebih dari sepuluh kali sebelum
dilaporkan kepada polisi,” tuding Anand. Adapun tudingannya itu memang
diperoleh dari kesaksian para saksi JPU sendiri dalam pengadilan yang semuanya,
tanpa kecuali, memang mengakui tentang adanya pertemuan-pertemuan tersebut.
Penasehat Hukum Anand, Otto Hasibuan juga menambahkan, saksi
Muhammad Djumaat Abrory Djabbar sendiri mengaku bahwa dia lah yang mencarikan
kuasa hukum bagi saksi pelapor satu-satunya, yaitu Tara Pradipta Laksmi. Dia
juga mengaku bahwa dirinya yang menganjurkan siapa yang menjadi pelapor dan
siapa yang menjadi saksi, dan siapa dulu yang melapor ke polisi. Selain itu, Muhammad Djumaat Abrory Djabbar
juga terbukti menggunakan dua identitas dengan tanggal lahir, dan alamat yang
beda saat melapor ke polisi sebagai saksi, dan saat bersumpah di Kepolisian. (Yudi/AS)