Jumat, 04 Mei 2012

Ayah, aku datang….


Jejak-jejak air hujan masih nampak di ruas-ruas jalan yang ia lewati. Ia, mitra, seorang gadis dengan perawakan tak terlalu menarik pandangan mata lelaki (begitu ia mengidentitaskan dirinya) bergegas menuju ke sebuah padepokan yang letaknya agak menanjak di atas perbukitan.

Peluh masih tersisa di wajahnya dan detak jantungnya pun belum berirama dengan stabil. Ia memang dengan tergesa-gesa menuju padepokan tersebut. Tak banyak waktu yang ia miliki untuk ke tempat tersebut.

Ya, sore di hari yang cerah itu memang ia berencana bertemu sang ayah yang baru saja tiba dari luar kota. Sang ayah adalah pemimpin sebuah padepokan yang sore itu berkenan untuk mengadakan pertemuan dengan para muridnya dan mitra adalah salah satu murid beliau.

Saat itu, hari masih menjelang siang, seperti biasa ia menggunakan angkutan umum ke tempat pertemuan akan diadakan,Sunter, Jakarta Utara. Mitra, yang sehabis kuliah bergegas menuju ke san. Santai saja ia di dalam angkutan terlelap sejenak, meski tidak benar-benar terlelap.

Beberapa saat kemudian, handphonenya berdering. Namun karena nomor yang menelponnya tidak ia kenali, maka ia tak menggubrisnya. Beberapa kali berdering namun tetap ia abaikan. Terbersit ada keinginan untuk menjawabnya, tapi…. Tak ia lakukan.

Angkutan yang ia tumpangi terus melaju, siang itu cuaca agak panas namun berangsur-angsur mendung. Cuaca di Jakarta akhir-akhir ini memang tak bisa diprediksi. Terkadang panas di siang hari, namun tiba-tiba hujan deras turun. Seperti yang terjadi kemarin.

Beberapa penumpang tutun tatkala angkutan tersebut berhenti di daerah stasiun gondangdia. Bau tak sedap menyeruak seketika, tampak di pokok stasiun itu gerobak-gerobak sampah yang masih penuh dengan isinya belum dipindahkan. Hmmm…. Terpaksa mitra pun berusaha menutup hidungnya, hal yang sama dilakukan oleh penumpang lainnya.

Belum jauh dari stasiun, handphonenya berdering kembali dan saat itu ia mengenali sang penelpon.

“woi… ditelpon dari tadi ga diangkat-angkat, gimana sih?” suara diseberang telpon agak tinggi

“ oh… kamu toh yang telpon dari tadi, habis aku ga kenal sih nomor itu” kilah mitra

“ada apa?” mitra mencoba mencari tahu

“iya nih, kamu lagi di mana?” sambung suara itu yang ternyata adalah lutfi, teman se padepokan mitra.
“lagi di angkot nih, daerah gondangdia, knp memangnya?” sambut mitra sambil menggeser pantatnya karena ada penumpang yang hendak duduk di sampingnya.

“wah… cepat kamu berbalik arah” pinta lutfi serius “kamu turun aja dari angkot tersebut dan balik arah”

“ berbalik arah bagaimana maksudmu?” sahut mitra bingung

Mitra dan lutfi memang kawan karib semenjak keduanya bergabung di padepokan yang dipimpin oleh ayah mitra. Lutfi yang polos dan selalu penuh semangat membuat mitra senang dan tertarik bersahabat dengannya. Tak kala pertama kali keduanya bertemu mereka langsung akrab seperti ada kaitan di antara keduanya di masa kehidupan yang lalu.

“jangan ke Sunter, Bapak ( begitu sebutan lutfi kepada ayah mitra, sang pemimpin padepokan) memutuskan untuk mengadakan pertemuan di ciawi. Tadi kita semua dapat sms pemberitahuan mengenai itu.” Lutfi menjelaskan penuh semangat.

“cepat, kamu masih punya waktu. Pertemuan dimulai pukul 7.30 seperti biasa” lanjutnya

“aduh…. Aku kok gak terima sms itu ya?” mitra garuk-garuk kepalanya yang ga gatal.

“fi, aku harus bagaimana, bingung nih” mitra masih terus berkomunikasi dengan lutfi

“aku harus naik apa, kalau harus kembali ke terminal lebak bulus dan selanjutnya ke pasar rebo dan seterusnya, pasti aku ga akan tiba jam segitu. Aku pasti telat” jelas mitra kepada lutfi yang masih setia mendengarkannya.

“oh ya, kamu kan dekat stasiun gondangdia, kamu naik kereta saja. Turun di bogor lalu dari sana kamu naik ojeg ke ciawi” lutfi menyarankan masih dengan penuh semangat. “ayo, kamu pasti bisa”

“naik kereta lebih cepat, kurang lebih satu jam saja kamu sampai di Bogor, soalnya kereta kan ga kenal macet, he he he” lanjut lutfi

“okelah aku naik kereta,” sahut mitra masih dalam kebingungan.

“oya, naik yang kelas bisnis saja gak terlalu sumpek soalnya dan juga hati-hati dengan dompet dan hp mu, sampai ketemu di ciawi ya,” lutfi menyudahi pembicaraan

Mengikuti petunjuk lufti sang sahabat, mitra kini tengah berada di dalam kereta kelas bisnis pula sesuai anjuran. Hmm… baru kali ini ia naik kereta dan suasananya tak terlalu menyenangkan. Penuh sesak. Mitra yang tidak terlalu tinggi tidak dapat berpegangan pada handle-handle yang bergelantungan di atas. Ia hanya bisa berpegangan pada tiang yang ada di sisi  kanan atau kiri pintu. Nasib… ia tertawa dalam hati.

Matanya memperhatikan gerak-gerik beberapa penumpang di dalam gerbong kereta yang ia tumpangi. Ada yang asyik ngobrol dengan teman-temannya, ada juga yang tampak tertidur dengan mulut yang tertutup 
masker. Mitra melirik ke sebelah kanan ia berdiri, dua orang perempuan muda sedang asyik ngobrol dengan dua orang lelaki. Nampaknya mereka teman sepekerjaan. Mitra berkali-kali melirik sang perempuan tersebut yang berpenampilan sederhana namun ayu. Beberapa kali mereka tertawa kecil. Dalam hati mitra bergumam “hmm… sederhana tapi ayu, coba aku seperti itu”.

“hi hi hi, aku kok jadi ngelantur ya,” gumam mitra kemudian.

Perjalanan dari stasiun Gondangdia terasa lama bagi mitra yang memang tak sabar segera tiba di padepokan sang ayah. Agak was-was ia akan terlalu terlambat sehingga tak sempat bertemu dengan sang ayah. Ya, kesempatan untuk bertemu memang hanya itu saja, karena esoknya sang ayah akan kembali ke luar kota. Maklum sang ayah sedang sibuk.

Eit… mitra agak kaget. Kepalanya mencoba menengok ke arah kiri. Ada seorang lelaki berdiri tepat di belakangnya dan berusahan mendesak dari belakang. Mata mitra melirik ke arah lelaki tersebut. Ia menampakkan wajah yang tak suka dengan lelaki tersebut. Pelan-pelan mitra pun memutuskan untuk menggeser letak ia berdiri. Ia mencari posisi yang aman dari himpitan penumpang lelaki.

Ternyata isu pelecehan seksual yang terjadi di dalam kereta benar adanya dan kerap menimpa kaum perempuan. Mitra baru saja sadar bahwa dirinya baru saja akan menjadi salah satu korbannya. Ah, para lelaki… apa yang ada dalam otak kalian? Tidak bisakah kalian menganggap kami, kaum perempuan sebagai saudara perempuan kalian, ibu kalian ataupun anak kalian yang mesti kalian jaga ataupun kalian hormati?

Sungguh ironis memang, di Negara yang konon mayoritas beragama mulia namun pelecehan seksual di angkutan umum seperti kereta masih saja kerap terjadi. Dalam hati mitra sedih dan kecewa juga marah.
Mitra hanya bisa berdoa kelak hal-hal semacam itu tak terjadi lagi. Ia memimpikan suatu negeri di mana penduduknya hidup dalam kondisi damai penuh cinta kasih kepada sesama serta bersemangat.

Kurang lebih satu jam dalam kereta, akhirnya mitra pun sampai juga di stasiun Bogor pemberhentian terakhir. Hujan baru saja reda, hawa dingin segera menyapa kulitnya yang agak kecoklatan. Ia bernafas lega setelah akhirnya bisa menapakan kakinya di kota hujan sore menjelang malam itu.

Waktu menunjukkan pukul 19.00.

Terasa keroncongan perutnya, akhirnya ia memutuskan untuk mampir ke sebuah kedai di pinggir jalan di luar stasiun itu. Tak lama ia berada di kedai tersebut. Setelah membayar kemudian ia pun berlalu menuju pangkalan ojeg yang tak jauh dari kedai.

Tawar menawar terjadi sebentar dan akhirnya si tukang ojeg setuju dengan harga yang diberikan mitra. Mitra pun segera naik dan ojeg pun mulai melaju. Waktu shalat isya sudah lewat, hawa dingin kian bertambah.

“Brrr…. Untung sudah diisi nih perut, kalau tidak pasti masuk angin,” mitra cekikikan sendiri dalam hati
Ojeg terus melaju menembus gelap dan dinginnya malam. Meskipun sudah agak tua, tapi si tukang ojeg itu tak mau kalah dengan yang muda-muda. Tancap gas dia….

Komat-kamit mitra membonceng di belakang. Dengan penuh semangat mitra berucap dalam hati “tunggu aku ayah…...” Mitra terus komat-kamit membaca doa memohon kepada Sang Maha Adanya supaya selamat sampai tujuan.

Ojeg tersebut berhenti tepat di pintu gerbang padepokan. Mitra berjalan sambil mengatur irama nafasnya. Beberapa saat ia menyempatkan untuk menyemprotkan parfum ke tubuhnya.

“Ayah, aku datang…..,” seru mitra dalam hati.

“maaf, aku terlambat”



Image: Google Search
Flag Counter