Jejak-jejak air hujan masih nampak di ruas-ruas jalan yang
ia lewati. Ia, mitra, seorang gadis dengan perawakan tak terlalu menarik
pandangan mata lelaki (begitu ia mengidentitaskan dirinya) bergegas menuju ke
sebuah padepokan yang letaknya agak menanjak di atas perbukitan.
Peluh masih tersisa di wajahnya dan detak jantungnya pun
belum berirama dengan stabil. Ia memang dengan tergesa-gesa menuju padepokan
tersebut. Tak banyak waktu yang ia miliki untuk ke tempat tersebut.
Ya, sore di hari yang cerah itu memang ia berencana bertemu
sang ayah yang baru saja tiba dari luar kota. Sang ayah adalah pemimpin sebuah
padepokan yang sore itu berkenan untuk mengadakan pertemuan dengan para
muridnya dan mitra adalah salah satu murid beliau.
Saat itu, hari masih menjelang siang, seperti biasa ia
menggunakan angkutan umum ke tempat pertemuan akan diadakan,Sunter, Jakarta
Utara. Mitra, yang sehabis kuliah bergegas menuju ke san. Santai saja ia di
dalam angkutan terlelap sejenak, meski tidak benar-benar terlelap.
Beberapa saat kemudian, handphonenya berdering. Namun karena
nomor yang menelponnya tidak ia kenali, maka ia tak menggubrisnya. Beberapa kali
berdering namun tetap ia abaikan. Terbersit ada keinginan untuk menjawabnya,
tapi…. Tak ia lakukan.
Angkutan yang ia tumpangi terus melaju, siang itu cuaca agak
panas namun berangsur-angsur mendung. Cuaca di Jakarta akhir-akhir ini memang
tak bisa diprediksi. Terkadang panas di siang hari, namun tiba-tiba hujan deras
turun. Seperti yang terjadi kemarin.
Beberapa penumpang tutun tatkala angkutan tersebut berhenti
di daerah stasiun gondangdia. Bau tak sedap menyeruak seketika, tampak di pokok
stasiun itu gerobak-gerobak sampah yang masih penuh dengan isinya belum
dipindahkan. Hmmm…. Terpaksa mitra pun berusaha menutup hidungnya, hal yang
sama dilakukan oleh penumpang lainnya.
Belum jauh dari stasiun, handphonenya berdering kembali dan
saat itu ia mengenali sang penelpon.
“woi… ditelpon dari tadi ga diangkat-angkat, gimana sih?”
suara diseberang telpon agak tinggi
“ oh… kamu toh yang telpon dari tadi, habis aku ga kenal sih
nomor itu” kilah mitra
“ada apa?” mitra mencoba mencari tahu
“iya nih, kamu lagi di mana?” sambung suara itu yang
ternyata adalah lutfi, teman se padepokan mitra.
“lagi di angkot nih, daerah gondangdia, knp memangnya?”
sambut mitra sambil menggeser pantatnya karena ada penumpang yang hendak duduk
di sampingnya.
“wah… cepat kamu berbalik arah” pinta lutfi serius “kamu
turun aja dari angkot tersebut dan balik arah”
“ berbalik arah bagaimana maksudmu?” sahut mitra bingung
Mitra dan lutfi memang kawan karib semenjak keduanya
bergabung di padepokan yang dipimpin oleh ayah mitra. Lutfi yang polos dan
selalu penuh semangat membuat mitra senang dan tertarik bersahabat dengannya. Tak
kala pertama kali keduanya bertemu mereka langsung akrab seperti ada kaitan di
antara keduanya di masa kehidupan yang lalu.
“jangan ke Sunter, Bapak ( begitu sebutan lutfi kepada ayah
mitra, sang pemimpin padepokan) memutuskan untuk mengadakan pertemuan di ciawi.
Tadi kita semua dapat sms pemberitahuan mengenai itu.” Lutfi menjelaskan penuh
semangat.
“cepat, kamu masih punya waktu. Pertemuan dimulai pukul 7.30
seperti biasa” lanjutnya
“aduh…. Aku kok gak terima sms itu ya?” mitra garuk-garuk
kepalanya yang ga gatal.
“fi, aku harus bagaimana, bingung nih” mitra masih terus berkomunikasi
dengan lutfi
“aku harus naik apa, kalau harus kembali ke terminal lebak
bulus dan selanjutnya ke pasar rebo dan seterusnya, pasti aku ga akan tiba jam
segitu. Aku pasti telat” jelas mitra kepada lutfi yang masih setia
mendengarkannya.
“oh ya, kamu kan dekat stasiun gondangdia, kamu naik kereta
saja. Turun di bogor lalu dari sana kamu naik ojeg ke ciawi” lutfi menyarankan
masih dengan penuh semangat. “ayo, kamu pasti bisa”
“naik kereta lebih cepat, kurang lebih satu jam saja kamu
sampai di Bogor, soalnya kereta kan ga kenal macet, he he he” lanjut lutfi
“okelah aku naik kereta,” sahut mitra masih dalam
kebingungan.
“oya, naik yang kelas bisnis saja gak terlalu sumpek soalnya
dan juga hati-hati dengan dompet dan hp mu, sampai ketemu di ciawi ya,” lutfi
menyudahi pembicaraan
Mengikuti petunjuk lufti sang sahabat, mitra kini tengah
berada di dalam kereta kelas bisnis pula sesuai anjuran. Hmm… baru kali ini ia
naik kereta dan suasananya tak terlalu menyenangkan. Penuh sesak. Mitra yang
tidak terlalu tinggi tidak dapat berpegangan pada handle-handle yang
bergelantungan di atas. Ia hanya bisa berpegangan pada tiang yang ada di
sisi kanan atau kiri pintu. Nasib… ia
tertawa dalam hati.
Matanya memperhatikan gerak-gerik beberapa penumpang di
dalam gerbong kereta yang ia tumpangi. Ada yang asyik ngobrol dengan
teman-temannya, ada juga yang tampak tertidur dengan mulut yang tertutup
masker. Mitra melirik ke sebelah kanan ia berdiri, dua orang perempuan muda
sedang asyik ngobrol dengan dua orang lelaki. Nampaknya mereka teman
sepekerjaan. Mitra berkali-kali melirik sang perempuan tersebut yang
berpenampilan sederhana namun ayu. Beberapa kali mereka tertawa kecil. Dalam hati
mitra bergumam “hmm… sederhana tapi ayu, coba aku seperti itu”.
“hi hi hi, aku kok jadi ngelantur ya,” gumam mitra kemudian.
Perjalanan dari stasiun Gondangdia terasa lama bagi mitra
yang memang tak sabar segera tiba di padepokan sang ayah. Agak was-was ia akan
terlalu terlambat sehingga tak sempat bertemu dengan sang ayah. Ya, kesempatan
untuk bertemu memang hanya itu saja, karena esoknya sang ayah akan kembali ke
luar kota. Maklum sang ayah sedang sibuk.
Eit… mitra agak kaget. Kepalanya mencoba menengok ke arah
kiri. Ada seorang lelaki berdiri tepat di belakangnya dan berusahan mendesak
dari belakang. Mata mitra melirik ke arah lelaki tersebut. Ia menampakkan wajah
yang tak suka dengan lelaki tersebut. Pelan-pelan mitra pun memutuskan untuk
menggeser letak ia berdiri. Ia mencari posisi yang aman dari himpitan penumpang
lelaki.
Ternyata isu pelecehan seksual yang terjadi di dalam kereta
benar adanya dan kerap menimpa kaum perempuan. Mitra baru saja sadar bahwa
dirinya baru saja akan menjadi salah satu korbannya. Ah, para lelaki… apa yang
ada dalam otak kalian? Tidak bisakah kalian menganggap kami, kaum perempuan
sebagai saudara perempuan kalian, ibu kalian ataupun anak kalian yang mesti
kalian jaga ataupun kalian hormati?
Sungguh ironis memang, di Negara yang konon mayoritas
beragama mulia namun pelecehan seksual di angkutan umum seperti kereta masih
saja kerap terjadi. Dalam hati mitra sedih dan kecewa juga marah.
Mitra hanya bisa berdoa kelak hal-hal semacam itu tak
terjadi lagi. Ia memimpikan suatu negeri di mana penduduknya hidup dalam
kondisi damai penuh cinta kasih kepada sesama serta bersemangat.
Kurang lebih satu jam dalam kereta, akhirnya mitra pun
sampai juga di stasiun Bogor pemberhentian terakhir. Hujan baru saja reda, hawa
dingin segera menyapa kulitnya yang agak kecoklatan. Ia bernafas lega setelah
akhirnya bisa menapakan kakinya di kota hujan sore menjelang malam itu.
Waktu menunjukkan pukul 19.00.
Terasa keroncongan perutnya, akhirnya ia memutuskan untuk
mampir ke sebuah kedai di pinggir jalan di luar stasiun itu. Tak lama ia berada
di kedai tersebut. Setelah membayar kemudian ia pun berlalu menuju pangkalan
ojeg yang tak jauh dari kedai.
Tawar menawar terjadi sebentar dan akhirnya si tukang ojeg
setuju dengan harga yang diberikan mitra. Mitra pun segera naik dan ojeg pun
mulai melaju. Waktu shalat isya sudah lewat, hawa dingin kian bertambah.
“Brrr…. Untung sudah diisi nih perut, kalau tidak pasti
masuk angin,” mitra cekikikan sendiri dalam hati
Ojeg terus melaju menembus gelap dan dinginnya malam. Meskipun
sudah agak tua, tapi si tukang ojeg itu tak mau kalah dengan yang muda-muda. Tancap
gas dia….
Komat-kamit mitra membonceng di belakang. Dengan penuh
semangat mitra berucap dalam hati “tunggu aku ayah…...” Mitra terus komat-kamit membaca doa memohon kepada Sang Maha
Adanya supaya selamat sampai tujuan.
Ojeg tersebut berhenti tepat di pintu gerbang padepokan. Mitra
berjalan sambil mengatur irama nafasnya. Beberapa saat ia menyempatkan untuk
menyemprotkan parfum ke tubuhnya.
“Ayah, aku datang…..,” seru mitra dalam hati.
“maaf, aku terlambat”
Image: Google Search