Jumat, 24 Juli 2015

Menghargai sesama

Gambar dari Google
Siang kali itu. Terik sinar di siang hari membuat semua mahkluk tak menyangsikan lagi keberadaan matahari. Matahari memang sungguh berjasa bagi semua mahkluk walaupun terkadang sinarnya itu terasa menyengat di kulit kita.

Di teras rumahnya, Adit sedang ditemani sang kakak. Mereka ngobrol santai menikmati cuaca panas siang itu. Adit yang masih duduk di bangku kelas 2 smp, berambut cepak ala rambut polisi lalu lintas. Sedangkan sang kakak, Wawan sudah mulai masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang tak terlalu terkenal.

Keduanya mempunyai salah satu hobi yang sama, yakni ngerujak. Aneh ya, kok cowok-cowok hobinya ngerujak, kayak cewek aja.  Tapi, biarkan saja yah...

Siang itu pun mereka sedang menikmati rujak sederhana buatan sang ibu. Untung di pekarangan rumah mereka ada pohon jambu air dan mangga yang sedang berbuah, jadilah kedua buah-buahan tersebut bahan untuk rujak mereka. Hmm... pasti nikmat rasanya rujak buatan sang ibu.

“Dit, kamu itu kalau sedang makan sesuatu, apa siah yang terlintas di benakmu?” tanya sang kakak sambil membenarkan posisi duduknya mendekati mangkok rujak.

“Kok, kakak tanya seperti itu?” Adit sedikit menyeringai karena menjawab pertanyaan sang kakak dengan pertanyaan juga.


“Ya, ga pa pa sih, Cuma mau tau aja,” jawab wawan dengan santai.

“Eh, pernah ga terlintas di benak mu bahwa ada orang-orang yang tidak punya sesuatu untuk dimakan. Karena tidak ada uang untuk membeli makanan. Adakah pikiran tersebut terlintas?, sambung Wawan sedikit serius.

“Hmmm.... iya yah... Adit sih ga pernah terpikir seperti itu. Menurut Adit, semua orang pasti memiliki sesuatu untuk dimakan. Ya, semua orang pasti makan meskipun dengan makanan yang berbeda-beda. Kita semua makan makanan yang sesuai dengan kemampuan kita, kak. Misalnya; ada yang mampu makan dengan tempe dan tahu, ada yang mampu makan dengan lauk lengkap dengan sayur mayur yang lezat, ikan, daging dan lainnya, tapi ada juga yang mampu hanya makan dengan kerupuk atau kecap saja.” Adit menjawab sang kakak agak panjang.

“Benar juga kata kamu dit, setiap orang pasti makan dengan kemampuan masing-masing. Tapi, mungkin ada juga yang tidak mampu sama sekali untuk membeli makanan untuk dimakan meskipun hanya nasi atau roti saja,” Wawan menanggapi jawaban sang adik.

Meskipun sedang ngobrol, irisan mangga dan jambu air di hadapan mereka sedikit demi sedikit kian berkurang karena mereka lahap bersama.

“Iya kak, oleh karena itu kita mesti menghargai sesama. Kita ga boleh menghina kalau ada orang yang nampaknya lusuh, compang-camping karena mereka toh sama seperti kita – manusia juga. Mereka pasti makan dengan kemampuan mereka. Dan, bila kita ingin dan mampu, maka mendingan kita bantu mereka, tapi bila tidak, ya jangan menghina,” Adit menimpali sang kakak.

“Wah, pintar kali kamu Dit,” Wawan tersenyum mendengar kata-kata sang adik.

“Pantas saja kamu pintar, kan kakaknya aku ini yah.... he he he,” Wawan terkekeh-kekeh sendiri meledek sang adik.

“Ayolah kak, jangan begitu. Tak habiskan ni rujak, baru tau rasa kau, he he he...” Adit membalas sang kakak tak mau kalah.



Flag Counter